Rabu, 25 September 2013

PEMIKIRAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AKHLAK IBNU MISKAWAIH (MATA KULIAH SPPI).



Pemikiran pengembangan pendidikan akhlak ibnu miskawaih
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah SPPI
Disusun oleh:
RUDINI HARTO
NIM : 11.2.3.012
Dosen pembimbing:
Dr. Andi Muh. Idris Tunru, M.Ag

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) MANADO
2013





BAB I
PENDAHULUAN
a.      Latar Belakang
Nama Lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H/932 M di Rayy (Teheran, ibu kota Republik Islam Iran sekarang) dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H/16 Februari 1030 M, Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang besar pemukanya bermazhab Syi’ah.
Latar belakang pendidikannya tidak diketahui secara rinci, cuma sebagian antara lain terkenal memepelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar dan mempelajari kimia dari Abi Thayyib.
Ibnu Miskawaih pada dasarnya adalah ahli sejarah dan moralis. Ia juga seorang penyair. Kesederhanaannya dalam melayani hawa nafsu, ketegaran dalam menundukan diri yang serakah dan kebijakan dalam mengatur dorongan-dorongan yang tak rasional merupakan pokok-pokok petunjuk ini. Beliau sendiri berbicara tentang perubahan moral dalam bukunya Tahdzid al-Akhlak, yang menunjukan bahwa beliau melaksanakan dengan baik apa yang telah ditulisnya tentang etika.
Kontribusi Ibnu Miskawaih yang terbesar dalam kajian filsafat Islam adalah tentang filsafat moral atau akhlak. Keberhasilan Ibnu Miskawaih dalam menyusun filsafat moral, mengantarkan Ibnu Miskawaih pada jajaran filosof muslim ternama, dengan mendapat gelar sebagai Bapak Etika Islam. Pemikiran-pemikiran Ibnu Miskawaih ihwal akhlak atau etika secara gamlang ditulis dalam sebuah karya monumental yaitu kitab Tahdzibul Al-Akhlak wa Tathhir Al-Araq(pendidikan budi dan pembersihan watak). Riwayat Hidup Ibn Miskawaih
Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihiyyah. Selanjutnya, Ibnu Misakawaih juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.
Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41 buah. Semua karyanya tidak luput dari kepentingan pendidikan akhlak (tahzib al-Akhlak), diantara karyanya adalah:
1.      al-Fauz al-Akbar
2.      Al-Fauz al-Asghar
3.      Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulis pada tahun 369 H/979 M)
4.      Usn al-Farid (kumpulan anekdot, syair, pribahasa dan kata-kata mutiara).
5.      Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik)
6.      al-Musthafa (syair-syair pillihan).
7.      Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak)
8.      al-jami’
9.      al-Syiar (tentang aturan hidup)
10.  Tentang pengobatan sederhana (mengenai kedokteran)
11.  Tentang komposisi Bajat (mengenai seni memasak)
12.  Kitab al-Asyribah (mengenai minuman).
13.  Tahzib al-Akhlaq (mengenai akhlaq)
14.  Risalah fi al-Ladzdzat wa-Alam fi Jauhar al- Nafs (naskah di Istanbul, Raghib Majmu’ah no. 1463, lembar 57a-59a)
15.  Ajwibah wa As’ilah fi al-Nafs wal-Aql (dalam majmu’ah tersebut diatas dalam raghib majmu’ah di Istanbul)
16.  al-Jawab fi al-Masa’il al-Tsalats (naskah di Teheren, Fihrist Maktabat al-Majlis, II no. 634 (31)).
17.  Risalah fi Jawab fi su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-Aql (perpustakaan Mashhad di Iran, I no 43 (137)).
18.  Thaharat al-Nafs (naskah di Koprulu Istanbul no 7667).
Muhammad Baqir Ibn Zain al-Abidin al-Hawanshari mengatakan bahwa ia juga menulis beberapa risalah pendek dalam bahasa Persi (Raudhat al-Jannah, Teheran, 1287 H/1870 M hal. 70).
Mengenai urutan karya-karyanya kita hanya mengetahui dari Miskawaih sendiri bahwa al-Fauz al-Akbar ditulis setelah al-Fauz al-Asghar dan Tahzib al-akhlak ditulis setelah Tartib al-Sa’adah.





b.      Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, permasalahan yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana struktur eksistensial manusia menurut Ibnu Miskawaih?
2.      Bagaimana pokok keutamaan akhlak menurut Ibnu Miskawaih?
3.      Bagaimana komponen-komponen pendidikan akhlak: tujuan, materi, pendidik dan peserta didik, lingkungan, metode dan evaluasi menurut Ibnu Miskawaih?
c.       Tujuan
Manfaat yang diharapkan dari makalah ini adalah:
1.      Bagi penulis merupakan alat untuk mengembangkan diri sebagai manusia yang berakhlak.
2.      Bagi pembaca dapat dijadikan sebagai pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap pentingnya pendidikan akhlak.



















BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Ibnu Miskawaih
Nama lengkapnya adalah ahmad ibnu Muhammad ibn ya’qub ibn miskawaih. Ia lahir pada tahun 320H/932M. di ray, dan meninggal di isfahan pada tahun 412H/1030M. ibnu miskawaih hidup pada masa pemerintahan Dinasti Buwaihi (320-450H/932-1062M) yang sebagian besar pemukannya bermazhab Syi’ah.
Dari segi latar belakang pendidikannya tidak dijumpai data sejarah yang rinci. Namun dijumpai keterangan bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil al Qadi; mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari kimia dari Abu Thayyib.
Dalam bidang pekerjaan, tercatat bahwa pekerjaan utama ibnu miskawaih adalah Bendaharawan, Sekertaris, Pustakawan dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihi. Selain akrab dengan penguasa, ia juga banyak bergaul dengan para ilmuan seperti Abu Hayyan at-Tauhidi, Yahya Ibnu Adi dan Ibnu Sina, selain itu Ibnu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemasyhurannya, melebihi pendahulunya, at-Thabari w.310 H./923 M).  selanjutnya ia juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian ibnu Miskawaih dalam berbagai bidang ilmu tersebut antara lain dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.[1]
Ada beberapa prediksi yang dilekatkan pada ibnu Miskawaih, yaitu ahli bahasa dan sastra, penyair, intelektual profsional, seorang hakim yang bijak, sejarawan, filosof etika dan sastra, dan sufi. Tidak salah bila abu Hayyan al Tauhidi (400H)) mengatakan “Miskawaih adalah pribadi yang memiliki bahasa sastra yang indah, gagasan-gagasan yang segar, halus budi, mudah dipahami, ulet dan tidak banyak mengeluh, hati-hati dalam mendidik. Juga abu manshur al-tsalabi (421H) menerangkan bahwa ibnu miskawaih adalah pribadi mulia yang penuh keutaman, ahli sastra, ahli Balagoh dan penyair.[2]
Selanjutnya ibn Miskawaih juga seorang penganut syi’ah. Indikasi ini didasarkan pada pengabdiannya kepada sultan dan wazir-wazir syi’ah dalam masa pemerintahan bani Buwaihi (320-448H). ketika sultan ahmad  Adhud al-Daulah memegang tampuk pemerintahan, ia menduduki jabatan yang penting, seperti ia diangkat menjadi Khazin, penjaga perpustakaan yang besar dan bendahara Negara.[3]

B. Karya Ibnu Miskawaih
Ibn Miskawaih dikenal sebagai filosof etika dalam Islam. Karenanya, karya-karya yang dihasilkan adalah kebanyakan bercerita masalah pendidikan, pengajaran, etika yang utama, dan metode-metode yang baik semua masalah tersebut. Adapun karya-karyanya:
1.                  Tahdzib al-akhlaq wa tathir al-a’raq, sebuah kitab yang mendeskripsikan  etika dan filsafat social masyarakat terdahulu. Suatu bentuk pemilihan antara perilaku yang sesuai dengan syari’at  dan perilaku yang menyimpang,  beberapa pengalaman hidup yang dilaluinya, dan jalan metodologis kearah etika yang baik.
2.                  Kitab al-Sa’adah, sebuah kitab filsafat etika yang menjadi orientasi semua manusia. Kitab ini disusun sebagai hadiah bagi ibn al-Amid, gurunya di ray.
3.                  Kitab fawz al shagir, sebuah kitab pegangan untuk mmperoleh “keuntungan” yang besar dalam sekolah kehidupan
4.                  Kitab fawz al-shagir, sebuah kitab pengangan untuk kehidupan sehari-hari.
5.                  Kitab Jawidan khard, sebuah kitab Persia yang berisi tentang hikmah hikmah dan sastra.
6.                  Tajarib al-umam, sebuah kitab sejarah.
7.                  Kitab uns al-farid, sebuah kitab ringkasan yang didalamnya dibahas kisah-kisah,syair-syair, hikmah-hikmah, dan perumpamaan-perumpamaan.
8.                  Kitab al Sayr,  sebuah kitab sejarah perjalanan seseorang dan pelbagai problematika yang dihadapinya, serta dibubuhkan pula jalan keluarnya.
9.                  Kitab al mustwfa, sebuah kitab berisi syair-syair pilihan
10.              Kitab al-adwiyah al-mufrodah, al asy ribah, fi tarqibal-bajat min al-ath’imah, semuanya berbicara mengenai kedokteran, kesehatan dan giziyang baik untuk manusia.[4]

C. Struktur Eksistensial Manusia
Ibn Miskawaih memandang manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya pikir dan manusia juga sebagai mahkluk yang memiliki macam-macam daya. Ibn Miskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan. Menurut Ibn Miskawaih dalam diri manusia ada tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat dari tingkat yang paling rendah yaitu:
·                     Daya bernafsu (an-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya terendah.
·                     Daya berani (an-nafs as-sabu’iyyat/al-Ghadabiyyah) sebagai daya pertengahan.
·                     Daya berpikir (an-nafs an-nathiqat ) sebagai daya tertinggi.
Kekuatan berfikir manusia itu dapat menyebabkan hal positif dan selalu mengarah kepada kebaikan, tetapi tidak dengan kekuatan berpikir binatang. Jiwa manusia memiliki kekuatan yang bertingkat-tingkat:
·                     Al-Nafs al-Bahimmiyyah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kejahatan atau keburukan.
·                     Al-Nafs al-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah adalah jiwa yang mengarah kepada keburukan dan sesekali mengarah kepada kebaikan.
·                     Al-Nafs al-Nathiqah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kebaikan..
Ketiga daya ini merupakan daya menusia yang asal kejadiannya berbeda. Unsur rohani berupa bernafsu (An-Nafs Al-Bahimmiyyah) dan berani (al-Nafs as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah) berasal dari unsur materi sedangkan berpikir (an-Nafs an-Nathiqah) berasal dari Ruh Tuhan karena itu Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kedua an-nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs an-nathiqat tidak akan mengalami kehancuran.
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa al-Bahimmiyah/as-syahwiyyah(bernafsu) dan jiwa as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah (berani) dengan jasad pada hakikatnya sama dengan hubungan saling mempengaruhi.
Menurut Ibn Miskawaih penciptaan yang tertinggi adalah akal sedangkan yang terendah adalah materi. Akal dan jiwa merupakan sebab adanya alam materi (bumi), sedangkan bumi merupakan sebab adanya tubuh manusia. Pada diri manusia terdapat jiwa berfikir yang hakikatnya adalah akal yang berasal dari pancaran Tuhan. Dalam diri manusia terdapat tiga daya jiwa (al-Nafs al-Bahimiyyah, al-Nafs as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah, al-Nafs al-Natiqah).Daya bernafsu dan berani berasal dari unsur materi, sedangkan daya berfikir berasal dari ruh Tuhan yang tidak akan mengalami kehancuran.
Ibn Miskawaih dalam kitab Tahzib al-Akhlaq, menggambarkan bagaimana bahwa jika daya-daya jiwa manusia bekerja secara harmonis dan senantiasa merujuk pada akal dapat melahirkan perbuatan-perbuatan moral yang akan menguntungkan bagi manusia dalam kehidupannya di dunia. Stabilitas fungsi daya-daya jiwa ini pun sangat tergantung pada factor pendidikan yang sedemikian rupa akan membentuk tata hubungan fungsional daya-daya jiwa dalam membuat keputusan-keputusan yang memang diperlukan manusia dalam  merealisasikan nilai-nilai moral dalam kehidupan. Dan oleh karena penjagaan kerja akal agar selalu berjalan sesuai dengan naturalnya merupakan prasyarat bagi perwujudan nilai-nilai moral, maka pembinaannya merupakan suatu kemestian dalam dunia pendidikan.[5]
Manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika memiliki jiwa yang cerdas. Dengan jiwa yang cerdas itu, manusia terangkat derajatnya, setingkat malaikat, dan dengan jiwa yang cerdas itu pula manusia dibedakan dari binatang. Manusia yang paling mulia adalah yang paling besar kadar jiwa cerdasnya, dan dalam selalu cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu. Manusia yang dikuasai hidupnya oleh dua macam jiwa lainnya (kebinatangan dan binatang buas), maka turunlah derajatnya dari derajat kemanusiaan. Mana yang lebih dominan diantara dua macam jiwa yang lain tadi, maka demikianlah kadar turun derajat kemanusiaannya. Manusia harus pandai menentukan pilihan untuk menundukan dirinya dalam derajat mana yang seharusnya.[6]
Sehubungan dengan kualitas dari tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut, Ibn Miskawaih mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk (al-Nafs al-Bahimiyyah, nafsu kebinatangan) mempunyai sifat-sifat: ujub, sombong, pengolok-olok, penipu dan takabur. Sedangkan jiwa yang cerdas (an-Nafs an-Nathiqah) mempunyai sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar dan cinta.[7]


B.  Pokok Keutamaan Akhlak
Akhlak merupakan permasalahan utama yang selalu menjadi tantangan manusia dalam sepanjang sejarahnya. Sejarah bangsa-bangsa baik yang diabadikan dalam Alqur’an seperti kaum ‘Ad, Samud, Madyan, dan Saba maupun yang terdapat dalam buku-buku sejarah menunjukan bahwa suatu bangsa akan kokoh apabila akhlaknya kokoh, dan sebaliknya apabila suatu bangsa akan runtuh apabila akhlaknya rusak. Agama tidak akan sempurna manfaatnya, kecuali dibarengi dengan akhlak yang mulia.[8]
Pembicaraan mengenai akhlak tidak akan lepas dari hakikat manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini. Sebagai khalifah manusia bukan saja diberi kepercayaan untuk menjaga, memelihara dan memakmurkan alam ini tetapi juga dituntut untuk berlaku adil dalam segala urusannya.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 30 dan dalam surat Shad ayat 27:
øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pÏù `tB ßÅ¡øÿム$pÏùà7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ  
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

$tBur $uZø)n=yz uä!$yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tBur $yJåks]÷t/ WxÏÜ»t/ 4 y7ÏsŒ `sß tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. 4 ×@÷ƒuqsù tûïÏ%©#Ïj9 (#rãxÿx.z`ÏB Í‘$¨Z9$#
Artinya: “dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka”.

 Sebagai makhluk, manusia harus berusaha mencapai kedudukannya sebagai hamba yang tunduk patuh terhadap segala perintah dan larangan Allah, Allah berfirman dalam surat Ad-Dzariyyat ayat 56:

$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ  
Artinya: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Akhlak dalam Islam mempunyai beberapa prinsip utama yang menjadi landasan pemikiran. Pertama, Islam berpihak pada teori tentang etika yang bersifat universal dan fitri. Allah berfirman pada surat Al-Syams ayat 8-10:
$ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ   ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ   ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢yŠ ÇÊÉÈ  
Artinya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.
Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW, mengajarkan  agar untuk mengetahui baik dan buruknya sebuah perbuatan, kita harus bertanya kepada hati nurani kita. Nabi SAW menyatakan, “perbuatan baik adalah yang membuat hatimu tentram, sedangkan perbuatan buruk adalah yang membuat hatimu gelisah”. Artinya semua manusia pada hakikatnya baik itu muslim atau bukan memiliki pengetahuan fitri tentang baik dan buruk. Kedua, moralitas dalam Islam didasarkan pada keadilan, yakni menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Ketiga, tindakan etis itu sekaligus dipercayai pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi pelakunya.[9]
Menurut Ibn Miskawaih, untuk menuju pada kesempurnaan diri, manusia harus melaluinya dengan aplikasi akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Akhlak adalah suatu sikap mental (halun li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan.[10]
Sikap mental ini terbagi dua, ada yang berasal dari watak dan ada juga yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan demikian, sangat penting menegakkan akhlak yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan yang demikian akan melahirkan perbuatan-perbuatan baik tanpa kesulitan. Berdasarkan ide diatas Ibn Miskawaih secara tidak langsung menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan bahwa akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah.[11]
Berbicara mengenai pokok keutamaan akhlak yang disajikan oleh Ibn Miskawaih, beliau memberikan beberapa ketentuan yang harus ditempuh, oleh setiap individu demi mencapai kesempurnaan akhlak. Ibn Miskawaih secara umum memberi “pengertian pertengahan/jalan tengah” tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau polisi tengah antara dua ekstrim.
Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa kemungkinan perubahan akhlak itu terutama melalui pendidikan. Dengan demikian, dijumpai ditengah masyarakat ada dua orang yang memiliki akhlak yang dekat kepada malaikat dan ada pula yang lebih dekat kepada hewan. Pemikiran ini sejalan dengan ajaran Islam. Alqur’an dan Hadits sendiri menyatakan bahwa diutusnya Nabi Muhamad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Hal ini terdiri dari salah satu tujuan melakukan ibadah adalah untuk pembentuk watak yang pada gilirannya akan memperbaiki tingkah laku masyarakat dan pribadi muslim. Bahkan, akhlak sering dijadikan ukuran sebagai keberhasilan seseorang dalam mengajarkan ajaran Islam yang dianutnya.
Berbicara mengenai pokok keutamaan akhlak Ibn Miskawaih, beliau memberikan beberapa ketentuan atau jalan yang harus ditempuh oleh setiap individu demi mencapai kesempurnaan akhlak Ibn Miskawaih secara umum memberi “pengertian pertengahan/jalan tengah” tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi beliau lebih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekuatan masing-masing jiwa manusia, yang mana jiwa ini berasal dari pancaran Tuhan. Dalam hal ini Ibn Miskawaih memberi tekanan yang lebih bagi pribadi masing-masing manusia. Menurut Ibn Miskawaih jiwa manusia ini ada tiga, jiwa al-Nafs al-Bahimiyyah (nafsu), jiwa al-Nafs as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah (berani), dan jiwa al-Nafs al-Natiqah (berfikir/rasional). Posisi tengah jiwa al-Bahimiyyah adalah menjaga kesunyian diri, posisi tengah jiwa as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah adalah keberanian, dan yang terakhir adalah jiwa al-Natiqah adalah kebijaksanaan. Adapun gabungan dari posisi tengah/keutamaan semua jiwa tersebut adalah keadilan/keseimbangan. Dan alat yang dijadikan ukuran untuk memperoleh sikap pertengahan adalah akal dan syari’at.[12]
Berikut ini rincian pokok keutamaan akhlak menurut Ibn Miskawaih:
1.      Kebijaksanaan
Kebijaksanaan merupakan sebuah keadaan jiwa yang memungkinkan jiwa seseorang mampu membedakan antara yang benar dan yang salah. Dalam semua keadaan Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa kebijaksanaan adalah keutamaan jiwa rasional yang mengetahui segala yang maujud, baik hal-hal yang bersifat ketuhanan maupun hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Pengetahuan ini melahirkan pengetahuan rasional yang memberi keputusan antara yang wajib dilaksanakan dengan yang wajib ditinggalkan.[13]
Ibnu Miskawaih juga memberi pengertian bahwa, kebijakan adalah pertengahan antara kelancangan dan kedunguan. Yang dimaksud dengan kelancangan disini adalah penggunaan daya pikir yang tidak tepat. Adapun yang yang dimaksud dengan kedunguan ialah membekukan dan mengesampingkan daya pikir tersebut walau sebetulnya mempunyai kemampuan untuk menggunakannya, bukan pada sisi kualitas daya pikir.[14]
Secara sederhana dapat kita cermati maksud dari kebijaksanaan disini adalah kemampuan dan kemauan seseorang menggunakan pemikirannya sebagai secara benar untuk memperoleh pengetahuan, sehingga mendapatkan pengetahuan yang rasional. Yang kemudian pengetahuan ini diaplikasikan dalam wujud perbuatan berupa keputusan tersebut.




2.      Keberanian
Keberanian merupakan keutamaan dari jiwa yang muncul pada diri manusia pada saat nafsu terbimbing oleh jiwa. Artinya tidak takut terhadap hal-hal yang besar. Sifat seperti ini kedudukannya pertengahan antara pengecut dan nekat. Pengecut adalah takut terhadap sesuatu yang seharusnya tidak perlu ditakuti. Adapun nekat adalah berani terhadap sesuatu dan menafikan sebuah konsekuensi. Gejala terbesar dari keberanian ini berupa tetapnya pikiran ketika berbagai bahaya datang. Kondisi seperti ini akan hadir karena faktor ketenangan dan keteguhan jiwa dalam menghadapi segala hal. Sehingga jikaditinjau dari sifat dasar jiwa, pada dasarnya jiwalah yang mampu membedakan antara manusia dan binatang. Jiwa dalam hal ini memanfaatkan badan untuk menjalin hubungan dengan alam wujud yang lebih spiritual dan tinggi.[15]
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa seseorang yang mampu menempatkan keberanian pada posisinya adalah manusia yang bisa memanfaatkan jiwa menurut esensinya.
3.      Menjaga Kesucian Diri
Menjaga kesucian diri merupakan keutamaan jiwa yang akan muncul pada diri manusia apabila nafsunya dikendalikan oleh pikirannya. Sehingga mampu menyesuaikan pilihannya dengan tepat dan tidak dikuasai serta diperbudak oleh nafsunya.[16]
Kesucian diri yang terdapat pada setiap orang akan berbeda-beda tergantung bagaimana seseorang bisa mengatur hati dan tingkah lakunya dalam aplikasi kesehariannya.



4.      Keadilan
Keadilan adalah bagaimana sikap seseorang bisa menempatkan segala sesuatu pada tempat dan porsinya masing-masing. Keadilan yang dimaksud Ibnu Miskawaih dalam hal ini berarti kesempurnaan dari keutamaan akhlak yaitu perpaduan antara kebijaksanaan, keberanian, dan menahan diri, sehingga menghasilkan keseimbangan berupa keadilan. Adapun keadilan yang diupayakan manusia dalam hal ini adalah menjaga keselarasan atau keseimbangan agar tidak saling berselisih dan menindas antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berlaku bagi kesehatan jiwa dan tubuh, hal ini bisa tercapai apabila manusia dapat menjaga keseimbangan dalam temperamen yang moderat.
Dari uraian tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa, keadilan yang diupayakan manusia diarahkan kepada dirinya dan orang lain. Sehingga pokok keutamaan akhlak yang dimaksudkan Ibnu Miskawaih adalah terciptanya keharmonisan pribadi dengan lingkungannya. Dapat kita pahami bahwa ahlak merupakan jalan tengah mengajarkan seseorang untuk mengajarkan seseorang untuk mencari jalan keselamatan. Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Ibnu Miskawaih memberikan perhatian yang sangat besar terhadap akhlak manusia. Sehingga untuk membentuk akhlak yang sempurna dan sesuai dengan fitrahnya manusia, ia menempatkan pendidikan akhlak yang dimulai dari masa kanak-kanak. Beliau menyebutkan masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak secara perlahan berakhir dan jiwa manusiwi dengan sendirinya akan muncul sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia.

C. Konsep Pendidikan islam Ibnu Miskawaih[17]
Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih
Pengertian pendidikan secara umum, yang kemudian dihubungkan dengan islam sebagai suatu sistem keagamaan menimbulkan pengertian-pengertian baru, yang secara implisit menjelaskan karakteristik-karekteristik yang dimilikinya. Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks islam inheren dalam konotasi istilah “ Tarbiyah”, “ Ta’lim”  dan “ Ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama.[18]
Dengan demikian pendidikan islam adalah segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun sosial, untuk mengarahkan potensi baik potensi dasar (fitrah) maupun ajar yang sesuai dengan fitahnya melalui proses intelektual dan spritual berlandaskan nilai islam untuk mencapai kebahagian hidup di dunia dan di akhirat.[19]
Dari uraian diatas terlihat dengan jelas bahwa pemikiran muslim tentang pendidikan islam tidaklah monotelik.[20] Setiap pemikir memiliki kecenderungan pemikiran yang khas dengan setting sosial-kultural pemikir yang bersangkutan. Disini punulis akan menganalisi dan mendiskripsikan konsep pendidikan islam menurut Ibn Miskawaih

Pemikiran pendidikan Ibnu Miskawaih tidak dapat dilepaskan dari konsepnya tentang manusia dan akhlak. Untuk kedua ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Dasar Pemikiran Ibnu Miskawaih.
a. konsep manusia
Ibn Miskawaih mengatakan bahwa jiwa berasal dari limpahan akal aktif. Jiwa bersifat ruhani, suatu substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu panca indera. Jiwa tidak bersifat material dibuktikan oleh Miskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan satu sama lain. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran konsep putih dan hitam dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima dalam satu waktu putih atau hitam saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu, baik yang inderawi maupun yang spiritual[21]
Ibn Miskawaih memandang manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya pikir dan manusia juga sebagai mahkluk yang memiliki macam-macam daya. Menurut dalam diri manusia ada tiga daya yaitu:
·         Daya bernafsu (an-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya terendah.
·         Daya berani (an-nafs as-sabu’iyyat) sebagai daya pertengahan.
·         Daya berpikir (an-nafs an-nathiqat ) sebagai daya tertinggi.
Kekuatan berfikir manusia itu dapat menyebabkan hal positif dan selalu mengarah kepada kebaikan, tetapi tidak dengan kekuatan berpikir binatang. Jiwa manusia memiliki kekuatan yang bertingkat-tingkat:
·         Al-Nafs al-Bahimmiyyah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kejahatan atau keburukan.
·         Al-Nafs al-Sabu’iyyah adalah jiwa yang mengarah kepada keburukan dan sesekali mengarah kepada kebaikan.
·         Al-Nafs al-Nathiqah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kebaikan..
Ketiga daya ini merupakan daya menusia yang asal kejadiannya berbeda. Unsur rohani berupa bernafsu (An-Nafs Al-Bahimmiyyat) dan berani (al-Nafs as-sabu’iyyat) berasal dari unsur materi sedangkan berpikir (an-nafs an-nathiqat) berasal dari Ruh Tuhan karena itu Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kedua an-nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs an-nathiqat tidak akan mengalami kehancuran.
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa al-Bahimmiyat/as-syahwiyyat (bernafsu) dan jiwa as-sabu’iyyat/al-ghadabiyyat (berani) dengan jasad pada hakikatnya sama dengan hubungan saling mempengaruhi.
b. konsep akhlak
Menurut Ibn Miskawaih, akhlak adalah suatu sikap mental (halun li an-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan pertimbangan[22]. Sikap mental ini terbagi dua; ada yang berasal dari watak dan ada pula yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan demikian, sangat penting menegakkan akhlak yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan yang begitu akan melahirkan perbuatan-perbauatan baik tanpa kesulitan. Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan tengah.
Ibn Miskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan atau posisi tengah antara dua ekstrim, akan tetapi Ibn Miskawaih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing jiwa manusia. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa jiwa manusia ada tiga yaitu jiwa bernafsu (al-bahimmiyah), jiwa berani (al-Ghadabiyyah) dan jiwa berpikir (an-nathiqah)
Menurut Ibn Miskawaih posisi tengah jiwa bernafsu (al-bahimmiyah) adalah al-iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya posisi tengah jiwa berani adalah pewira atau keberanian yang diperhitungkan dengan masak untung ruginya. Sedangkan posisi tengah dari jiwa pemikiran adalah kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah keadilan atau keseimbangan.
Ketiga keutamaan akhlak tersebut merupakan pokok atau induk akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat, dan sebagainya merupakan cabang dari ketiga induk ahklak tersebut. Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibnu Miskawaih tidak membawa satu ayat pun dari al-Qur’an dan tidak pula membawa dalil dari hadits akan tetapi spirit doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran islam. Hal ini karena banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur’an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh boros tetapi juga tidak boleh kikir melainkan harus bersifat diantara kikir dan boros.
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu dalam gerak dinamis mengikuti gerak zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan dan ekstrim kelebihan. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi misalnya, pada masyarakat desa dan kota tidak dapat disamakan.
Allah menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Sebagai khalifah, manusia bukan saja diberi kepercayaan untuk menjaga, memelihara dan memakmurkan alam ini, tetapi juga dituntut untuk berlaku adil dalam segala urusannya. Dengan kata lain, manusia harus selalu menjaga perilakunya, baik dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia maupun alam di sekitarnya. Terbentuknya akhlak mulia inilah seharusnya yang menjadi tujuan pendidikan. Akan tetapi, realita yang terjadi di lapangan tidak demikian. Perkembangan dan ledakan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang luar biasa, seharusnya juga disertai dengan perhatian terhadap pendidikan, khususnya pendidikan moral. Namun, yang terjadi sekarang justru sebaliknya, adanya krisis pendidikan. Terjadinya krisis pendidikan dapat terlihat dari semakin berkembangnya kecenderungan manusia untuk berbuat jahat dan kekerasan serta rusaknya tatanan sosial ditambah dengan semakin rendahnya moralitas manusia. Aspek moral yang ditekankan di dalam sistem pendidikan Islam sebenarnya telah banyak dikemukakan, baik oleh para pakar Islam klasik maupun modern, seperti Miskawaih, al-Ghazali, Prof. Dr. Ahmad Amin, Dr. Miqdad Yaljan dan sebagainya
Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibnu Miskawaih tidak membawa satu ayat pun dari al-Qur’an dan tidak pula membawa dalil dari hadits akan tetapi spirit doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran islam. Hal ini karena banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur’an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh boros tetapi juga tidak boleh kikir melainkan harus bersifat diantara kikir dan boros.[23]
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu dalam gerak dinamis mengikuti gerak zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan dan ekstrim kelebihan. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi misalnya, pada masyarakat desa dan kota tidak dapat disamakan.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah ternyata tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga flexibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan pokok keutamaan akhlak.
v  Konsep Pendidikan[24]
Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Karena dasar pendidikan Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Menurut Ibnu Miskawaih dasar pendidikan Pertama, syariat, Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti tentang dasar pendidikan. Namun secara tegas ia menyatakan bahwa syari’at agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, yang menjadikan manusia terbiasa melakukan perbuatan terpuji, yang menjadikan jiwa mereka siap menerima kearifan (hikmah), dan keutamaan (fadilah), sehingga dapat memperoleh kebahagiaan berdasarkan penalaran yang akurat.
Dengan demikian syariat agama merupakan landasan pokok bagi pelaksanaan pendidikan yang merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, prinsip syariat harus diterapkan dalam proses pendidikan, yang meliputi aspek hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan makhluk lainnya. Kedua, Psikologi. Menurut Ibnu Miskawaih, antara pendidikan dan pengetahuan tentang jiwa erat kaitannya. untuk menjadikan karakter yang baik, harus melalui perekayasaan (shina’ah) yang didasarkan pada pendidikan serta pengarahan yang sistematis. Itu semua tidak  akan tercapai kecuali dengan mengetahui jiwa lebih dahulu. Jika jiwa dipergunakan dengan baik, maka manusia akan sampai kepada tujuan yang tertinggi dan mulia. Pendidikan tanpa pengetahuan psikologi laksana pekerjaan tanpa pijakan. Karena itu, dasar pendidikan Ibnu Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Konsep pendidikan akhlak dari Ibnu Miskawaih dikemukakan sebagai berikut:
Pendidikan, pada dasarnya berkaitan dengan transpormasi ilmu. Apalagi masalah pendidikan agama, yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama (ulumuddin) sangat penting di kalangan kaum muslimin. Manusia pertama yang memperoleh tranformasi ilmu langsung dari Allah ialah Nabi Adam As. Selanjutnya zaman terus berubah, pengetahuan pun berkembang dan manusia dengan potensi akalnya menemukan hal-hal yang baru, dan atau mengembangkan ilmu-ilmu yang ada sebelumnya. Dan di antara kaum muslimin yang banyak andil dalam pengembangan pemikiran Islam adalah Ibnu Maskawaih.
Studi tentang Ibnu Maskawaih tidak akan bisa dibahas dalam waktu yang sangat singkat karena ia adalah seorang tokoh yang multidimensi .Pemikiran Ibnu Maskawaih masih relevan dengan tujuan pendidikan Islam zaman sekarang. Bahkan mengenai pendidikan akhlak sangat ditekankan dalam Islam sampai kapanpun, karena Rasululllah Saw sendiri diutus oleh Allah juga dalam rangka memperbaiki akhlak. Dalam sebuah hadist diriwayatkan yang artinya “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Berkaitan sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan perbuatan yang bernilai baik dalam zaman modern ini disebut dengan karakter (character) dimana karakter diartikan sifat yang sudah mendarah daging. Dan dalam pengetahuan afektif (sikap) adalah berada dalam tingkatan tertinggi (puncak). Sehingga pemikiran Ibnu Maskawaih ini juga masih relevan dengan perkembangan zaman.
v  Lingkungan pendidikan[25]
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa usaha mencapai kebahagiaan (as-sa’adah) tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus berusaha atas dasar saling menolong dan saling melengkapi dan Ibnu Miskawaih juga berpendapat bahwa sebagai makhluk sosial, manusia kondisi yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada kaitannya dengannya mulai dari saudara, anak, atau orang yang masih ada hubungannya dengan saudara atau anak, kerabat, keturunan, rekan, tetangga, kawan atau kekasih.
Selanjutnya Ibn Miskawaih berpendapat bahwa salah satu tabiat manusia adalah memelihara diri karena itu manusia selalu berusaha untuk memperolehnya bersama dengan makhluk sejenisnya. Diantara cara untuk mencapainya adalah dengan sering bertemu. Manfaat dari hasil pertemuan diantaranya adalah akan memperkuat akidah yang benar dan kestabilan cinta kasih sesamanya. Upaya untuk ini, antara lain dengan melaksanakan kewajiban syari’at. Shalat berjama’ah menurut Ibn Miskawaih merupakan isyarat bagi adanya kewajiban untuk saling bertemu, sekurang-kurang satu minggu sekali. Pertemuan ini bukan saja dengan orang-orang yang berada dalam lingkungan terdekat tetapi sampai tingkat yang paling jauh.
            Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, menurut Ibn Miskawaih terkait dengan politik pemerintahan. Kepala Negara berikut aparatnya mempunyai kewajiban untuk menciptakannya.Karena itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa agama dan negara ibarat dua saudara yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya saling menyempurnakan.
Lingkungan pendidikan selama ini dikenal ada tiga lingkungan pendidikan yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ibn Miskawaih secara eksplisit tidak membicarakan ketiga masalah lingkungan tersebut. Ibnu Muskawaih membicarakan lingkungan pendidikan dengan cara bersifat umum, mulai dari lingkungan sekolah yang menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintah sampai lingkungan rumah tangga yang meliputi hubungan orang tua dengan anak. Lingkungan ini secara akumulatif berpengaruh terhadap terciptanya lingkungan pendidikan.
 maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Konsep pendidikan akhlak dari Ibn Miskawaih dikemukakan sebagai berikut:
a) Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap bathin yang mampu mendorong serta spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati.

b)  Fungsi Pendidikan[26]
1. Memanusiakan manusia
Setiap makhluk di dunia ini mempunyai kesempurnaan khusus dan perilaku yang spesifik baginya yang tidak ada makhluk lain yang menyertainya pada perilaku itu. Maka manusia diantara segala makhluk yang ada mempunyai sendiri perilaku khusus yang tidak ada makhluk lain yang bersektutu dengan daripada perbuatan/ perilakunya itu, yaitu segala perilaku yang lahir dari pertimbangan nalar akal pikirannya. Karena itu siapa yang pertimbangannya paling jernih, penalarannyapaling benar, keputusannya paling tepat, dialah orang yang paling sempurna martabat kemanusiaannya.
Manusia yang paling utama adalah orang yang paling mampu menunjukkan perilaku yang khas padanya dan yang paling teguh berpegang kepada syarat-syarat substansinya (daya pikir) yang membedakan dia dengan makhluk lainnya. Maka, kewajiban yang tidak diragukan lagi ialah berbuat kebajikan yang juga merupakan kesempurnaan manusia. Untuk itu mereka diciptakan agar benar-benar mau berupaya dengan sungguh-sungguh untuk sampai kepada sebuah kebajikan (Al-Khairat) itu, dan agar manusia menghindari kejahatan-kejahatan yang dapat menghambatnya pada kebaikan tersebut.  Oleh karena itu tugas pendidikan adalah mendudukan manusia sesuai dengan substansinya sebagai makhluk yang termulia dari makhluk lainnya. Hal itu ditandai dengan perilaku dan perbuatan yang khas bagi manusia yang tak mungkin dilakukan makhluk yang lain.  
Sosialisasi individu manusia
Pendidikan juga haruslah merupakan proses sosialisasi sehingga tiap individu merupakan bagian integral dari masyarakatnya dalam melaksanakan kebajiakan untuk kebahagiannya bersama. Miskawaih menegaskan bahwa manusia dari antara segala makhluk hewan tak dapat mandiri dalam menyempurnakan esensinya sebagai insane, tetapi tidak boleh tidak mesti dengan pertolongan dari golongan manusia lain. Dia dapat mencapai kehidupannya yang baik dan melaksanakan kewajibannnya dengan tepat. Berkata para hukama: manusia itu secara alamiah makhluk social. Dia pada dasarnya adalah anggota masyarkat di kota. Disitulah ditengah-tengah masyarakat terwujud kebahagian insaniahnya.  
2. Menanamkan rasa malu
Manusia diciptakan dengan kekuatan-kekuatan potensial dan kekuatan-kekuatan itu tumbuh secara alamiah. Kekuatan yang mula-mula muncul ialah tuntutan biologis, yakni kecendrungan syahwaniyah makan untuk mengembangkan fisiknya. Kemudian menyusul timbul kekuatan imajinasi yang terbit dari penginderaan. Sesudah itu muncul kekuatan gadlabiyah/ kekuatan kemauan untuk bertindak mengatasi hambatan atau untuk memenuhi kecendrungan. Setelah itu lahir kekuatan tamyiz/ pertimbangan nalar (perkembangan intelektualitas) terhadap perilaku-perilaku khas manusiawi sedikit demi sedikit hingga sempurna. Pada tingkat perkembangan ini dinamakan ‘ aqil (L’enfant fait). Kekuatan-kekuatan ini banyak, sebagiannya secara fundamental mendorong terwujudnya sebagian kekuatan yang lain sehingga tercapai tujuan perkembangan terakhir (tingkat akhir perkembangan akal insani), tujuan yang tak ada lagi tujuan lainnya yaitu al- Khair al-Mutlaq”. Kebajiakn mutlak yang diinginkan manusia.
3. Materi Pendidikan Ahlak
3)      Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskwaih adalah terwujudnya sikap batin yang mempu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurnaan. Sejalan dengan urain tersebut, Ibn Miskawaih menyebutkan tiga hal pokok yang dipahami sebagai materi pendidikan akhlak. Tiga hal pokok tersebut adalah
 (1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan manusia,
(2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan
(3) hal-hal yang wajib bagi hubunganya dengan sesama manusia. Ketiga pokok materi tersebut menurut Ibn Miskawaih dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua. Pertama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran yang selanjutnya disebut al-ulum al-fikriyah, dan kedua ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indera yang selanjutnya disebut al-ulum al-hissiyat.[27]

Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia antara lain shalat, puasa dan sa’i. selanjutnya materi pendidikan ahklak yang wajib dipelajari bagi kebutuhan jiwa dicontohkan oleh Ibn Miskawaih dengan pembahasan akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesaran-Nya serta motivasi senang kepada ilmu dan materi yang terkait dengan keperluan manusia dengan manusia dicontohkan dengan materi ilmu Muammalat, perkawinan, saling menasehati, dan lain sebagainya.
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih memang terlihat mengarah kepada terciptanya manusia agar sebagai filosuf. Karena itu Ibn Miskawaih memberikan uraian tentang sejumlah ilmu yang dapat di pelajari agar menjadi seorang filosuf. Ilmu tersebut ialah:
·         Matematika
·         Logika dan
·         Ilmu kealaman
Jadi, jika dianalisa dengan secara seksama, bahwa berbagai ilmu pendidikan yang diajarkan Ibn Miskawaih dalam kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan semata-mata karena ilmu itu sendiri atau tujuan akademik tetapi  kepada tujuan yang lebih pokok yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia dan bukan semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang maka akan semakin tinggi pula akhlaknya.
v  Pendidik dan anak didik
Pendidik dan anak didik mendapat perhatian khusus dari Ibn Miskawaih. Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anaknya karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Kecintaan anak didik terhadap gurunya menurut Ibn Miskawaih disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba kepada Tuhannya, akan tetapi karena tidak ada yang sanggup melakukannya maka Ibn Miskawaih mendudukan cinta murid terhadap gurunya berada diantara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan.
Seorang guru menurut Ibn Miskawaih dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam mencapai kejiwaan sejati. Guru sebagai orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikannya adalah kebaikan illahi. Dengan demikian bahwa guru yang tidak mencapai derajat nabi, terutama dalam hal cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya, dinilai sama dengan seorang teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga diproleh ilmu dan adab.
Cinta murid terhadap guru biasa masih menempati posisi lebih tinggi daripada cinta anak terhadap orang tua, akan tetapi tidak mencapai cinta murid terhadap guru idealnya. Jadi posisi guru dapat juga diproleh ilmu dan adab.
Adapun yang dimaksud guru biasa oleh Ibn Miskawaih adalah bukan dalam arti guru formal karena jabatan, tetapi guru biasa memiliki berbagai persyaratan antara lain: bisa dipercaya, pandai, dicintai, sejarah hidupnya tidak tercemar di masyarakat, dan menjadi cermin atau panutan, dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.
Perlu hubungan cinta kasih antara guru dan murid dipandang demikian penting, karena terkait dengan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak positif bagi keberhasilan pendidikan.
v  Metodologi Pendidikan[28]
Metodologi Ibn Miskawaih sasarannya adalah perbaikan akhlak, metode ini berkaitan dengan metode pendidikan akhlak. Ibn Miskawaih berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakan bawaan atau warisan melainkan bahwa akhlak seorang dapat diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan. Maka usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal dengan istilah metodologi.
Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibn Miskawaih dalam mencapai akhlak yang baik. Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (al-’adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Metode ini ditemui pula karya etika para filosof lain seperti halnya yang dilakukan Imam Ghazali, Ibn Arabi, dan Ibn Sina. Metode ini termasuk metode yang paling efektif untuk memperoleh keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Adapun  pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah pengetahuan dan pengalaman berkenaan dengan hukum-hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seorang tidak akan hanyut ke dalam perbuatan yang tidak baik karena ia bercermin kepada perbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain. Manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, ia kemudian mencurigai dirinya bahwa dirinya juga sedikit banyak memiliki kekurangan seperti orang tersebut, lalu menyelidiki dirinya. Dengan demikian, maka setiap malam dan siang ia akan selalu meninjau kembali semua perbuatannya sehingga tidak satupun perbuatannya terhindar dari perhatiannya.













BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
ada tahun 320 H/932 M di Rayy dan meninggal di Istafhan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H/16 Februari 1030 M, Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang besar pemukanya bermazhab Syi’ah.
Pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih tidak dapat dilepaskan dari konsepnya tentang manusia dan akhlak. Konsep manusia adalah daya bernafsu (an-nafs al-bahimmiyyat) sebagai daya terendah, daya berani (an-nafs as-sabu’iyyat) sebagai daya pertengahan, daya berpikir (an-nafs an-nathiqat) sebagai daya tertinggi.
Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan tengah.
Dasar pendidikan Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak.

















DAFTAR PUSTAKA
-          Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H).
-          A. Musthofa, Filsafat Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2009).
-          Abu Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, 1970.
-          Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004).
-          Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung, Mizan, 2005).
-          Muhamad Yusuf Musa, Bain Al-Din wa Al-Falsafah,(Kairo, Dar Al-Maarif, 1971).
-          Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1986).
-          Oliver Leamen, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, ed. Sayyed Hossein Nasr, (Bandung, Mizan, 2003).
-         Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004
-         Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009)
-        Mu’jamu al-Muallifin, Juz 2, h. 168 (al-Maktabah al-Syamilah)
-        Syamsul Rizal, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010),
-        Hasan Asari, Menguak sejarah Mencari Ibrah,(Bandung: Cita Pustaka media, 2006)
-       Ibn Maskawaih, Tahzib al-Akhlaq, (al-Maktabah al-Syamilah)
-       al-Infa’al al-Insaniyah wa Dlabthiha bita’allum al-Qur’an al-karim (Maktabah syamilah)
-      ‘Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh al-Arba’in al-Nawawiyah (al-Maktabah al-Syamilah)
-       Azra, Azyumardi. 2002. Pendidikan Islam. Cetakan ke IV. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
-       Kholiq, Abdul.1999.Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Cet. I. Semarang: Pustaka Pelajar Offset.
-       Nasution, Hasyimsyah.1999.  Filsafat Islam, Cet, Ke Empat. Jakarta: penerbit Gaya Media Pratama.
-       Suyudi, M. 2005. Pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an. Cet. I.Yogyakarta: penerbit Mikraj.
-       Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Cet, Ke Empat,( Jakarta; penerbit: Gaya Media Pratama, 1999.)
-      H.M. Suyudi, Pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an, Cet. I. ( Yogyakarta; penerbit Mikraj, januari 2005),
-     Zar. Sirajudin.2009.Filsafat Islam Filosof Dan Filsafatnya. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.
-     Tolkhah. Imam dan Barizi. Imam. 2004. Membuka Jendela Pendidikan (Mengurai Akar Tradisi Dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
-     Majid,fahri.1986. Sejarah Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Jaya.
-     Ahmad daudy, 1986. Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang


[1] Abudin Nata. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam hal 5-6

[2] Imam Tholhah “Membuka Jendela Pendidikan hal 240
[3] fahri majid, sejarah filsafat islam,terj.mulyadi kartanegara,(Jakarta:pustaka jaya,1989),hal 265

[4] Ahmad Daudy,kuliah filsafat islam, jakatra bulan bintang1986) hal 61
[5] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H), hal. 32.
[6] A. Musthofa, Filsafat Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2009) hal. 173-174.
[7] Abu Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, 1970, hal. 150.
[8] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004) hal. 130.

[9] Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung, Mizan, 2005) hal. 207-210.
[10] Muhamad Yusuf Musa, Bain Al-Din wa Al-Falsafah,(Kairo, Dar Al-Maarif, 1971) hal. 70.
[11] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1986) hal. 61.
[12] suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004) hal. 83.
[13] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H), hal. 40.
[14] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H), hal. 46.
[15] Oliver Leamen, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, ed. Sayyed Hossein Nasr, (Bandung, Mizan, 2003), hal. 312.
[16] [13] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H), hal. 40.

[17] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,  Cet. IV. ( jakarta: Logos Wacan Ilmu, 2002)

[18] H.M. Suyudi, Pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an, Cet. I. ( Yogyakarta; penerbit Mikraj, januari 2005)

[19] Abdul Kholiq, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Cet. I. ( Semarang: Pustaka Pelajar Offset, 1999)

[20] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Cet, Ke Empat,( Jakarta; penerbit: Gaya Media Pratama, 1999.)

[21]  Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam (1995),  hlm. 172-173
[22] Muhammad Yusuf Musa, Bain al-Din wa al Falsafah (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971), hlm. 70

[23] H.M. Suyudi, Pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an, Cet. I. ( Yogyakarta; penerbit Mikraj, januari 2005), Hlm, 243.
[24] Mahmud dan Tedi Priatna, Kajian Epistemologi, Sistem dan Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Bandung : Azkia Pustaka Utama 2008.
[26] Drs. H. Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Islam (1997), hlm38-42

[27] Abdul Kholiq, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Cet. I. ( Semarang: Pustaka Pelajar Offset, 1999), Hlm, 12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar