“Akal Dan Wahyu”
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam
Disusun oleh: Rudini Harto
NIM :
11.2.3.012
Dosen pembimbing:
Dra. Hj. Nurlaila Baluwo
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) MANADO
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Salah satu intan yang
paling mahal, mutiara yang sangat berharga di dalam diri manusia yaitu akli wal
fikri yakni akal dan fikiran. Dia merupakan pemberian
Allah swt yang sangat tinggi nilainya dan bahkan dialah yang bisa membedakan
antara manusia dengan makhluk makhluk lainnya, dan bahkan pada waktu tertentu
manusia dengan akal dan fikirannya mana kala di arahkan ke arah yang positif
maka dia akan mengalahkan kemuliaan derajat para malaikat. Namun sebaliknya
jika akal dan fikiran mc diarahkan kearah yang negartif maka derajat
kemuliaannya akan jatuh lebih rendah dari pada binatang ternak. Bal hum
adhollu.
Sedangkan wahyu adalah
dalil-dalil syar’i yang di dalam Al-Qur’an dan asunnah.akan tetapi akal dan
wahyu ada juga bertentangan dengan rasio mereka, sementara ahli suunah
meniadakan pertentangan antara akal dan wahyu. Oleh karena itu, imam ibnu Abi al- izz al-
hannafi berkata: syaria’t itu tidak datang membawah sesuatu yang ndi anggapm
mustahil oleh akal, tetapi ia terkadang datang membawah sesuatu yang
membinggungkan akal.
Imam as-sam’ani berkata: ahlus sunnah
mengatakan, bahwa inti agama adalah mengukuti (taat), sedang yang ma’gul
(rasional) itupun ikut kepadanya. Seandainya dasar agama adalah yang ma’gul
maka uamat manusia tidak akan membutuhkan wahyu dan nabi, serta perintah dan
larangan (agama pun tidak ada gunannya ), sementara setiap ornag akan berbicara
sesuai dengan keinginannya.
B. Rumusan masalah
·
Apa pengertian akal ?
·
Apa pengertian wahyu?
·
Bagaimanakah kedudukannya dalam Al-
Qur’an ?
C. Tujuan
Adapun orientasinya dibuat makalah ini agar kita sebagai mahasiswa kemudian dapat mengerti apa yang dimaksud dengan akal dan
wahyu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian akal
Akal adalah
rasio atau muntiq. Munurut logika sehat, di mana alam semesta kerumitan hukum-hukumnya
adalah berupah dalil.
akal.menurut akal kebenaran sesuatu dapat diamati , diteliti ( di analisis) dan
di capai oleh akal, pada dasarnya dalil-dalil aqli ini adalah sebuah penghargaan Allah bagi hambanya agar senantiasa dapat dipergunakan secara baik dan cermat
Akal berasal dari Al-Qur’an, yaitu aqlun
(akal). akal adalah satu-satunya pemberian Allah yang paling tinggi nilainya
setelah iman (hidayah). Dengan akal manusia dapat berbudaya, dapat menguasai
alam semesta. Ia dapat menag sendiri di bangingkan makhluk lain di alam ini,
walaupun terhadap mkahluk yang besar secara biologis.
Akal untuk membuktikan atau sebagai dail,
hal-hal yang bersifat materi, sedangkan untuk mencapai non materi datangnya
dari tuhan yang wujudnya adalah wahyu. Kebenaran yang di kandungnya pasti dan
semakin mutlak. Berlaku sepanjang masa dan makin tinggi taraf ilmu manusia,
semakin mendekat dengan kebenarannya.
Dalil naqli untuk islam adalah kitab Al-Qur’an
dan AL-Hadits rasullulah Saw. Mau tidak mau harus di terimah dengan yakin apa
yang telah di nashakan di dalammnya, maka dalil itupun merupakamn dalil yang
paten dan pasti yang tidak perlu di perdepatkan lagi.[1]
Hal-hal yang cupup di imani kepada yang ghaib
misalnya: iman kepada Alllah, kepada malaikat,
iman kepada adanya hari kiamat, adanya surge dan neraka, iman kepada
Qdha dan qhadar, dan masih banyak
Ada juga hal-hal yang bersifat ghaib.
Al- Qur’an mengambarkan kegiatan oaring-oarang
mengunakan akal sebagai orang yang berfikir keras mengenai cipta tuhan (alam
semesta) dan sekaligus juga berzikir mengenai kekuasaan tuhan. Mungkin filsafah
al- hikma , inilah yang merupakan ilmu yang
pertama kali yang di ajarkan oleh Allahkepada nabi adal as, karena adam
di ajari mengenai nama-nama benda. Nama-nama benda adalah konsep-konsep, itu
adalah produk dari kegitan kefilsafatan.
Akal sering kali di kacaukan dengan otak atau
rasio. Meskipun kegiatan merusak adanya kegiatan merujuk adanya kesamaan,
tetapi juga mengandung perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar, pengertian otak
misanya merusak pada materi ( jaringan
syaraf yang sangat lembut) yang terdapat dalam tempurung kepala. Otak di
samping terdapat pada manusia juga terdapat pada binatang. Dapat saja seseorang
berotak , terdapat tidak berakal, misalnya, otak gila, bahkan Al-Qur’an secara
negative menilai orang-orang ynag tidak dapat mengambil pelajaranndan berbuat
keji, sebagai orang yang tidak berakal.
Istilah akal atau dalam teks bahasa arab di
sebut aqal, di gunakan dalam Al-Qur’an di berbagai ayat dalam bentuk kata kerja (fi’il)
dan tidak pernah di sebuat dalam bentuk mashdar (aqal). Setidak- tidaknya di
sebut dalam 5 bentuk kata yakni: Aqluhu, taqluna, naqilu, qiluha, ya qiluna,
yang tersebar dan tidak berkurang pada ayat, di dalam Al-Qur’an di samping akal
ada juga di kenal istilah ulu al-bab,
yang di artikan orang yang berakal. Dalam kenyataan akal adalah bukanlah wujud
yang berdiri ssendiri, tetapi interen dalan jati diri manusia. Akal merupakan
rahmat dari Allah yang khusus untuk manusia; dank arena akal inilah manusia
berbeda dengan makhluk lainnya. Akal juga merupakan persyaratan-parsyaratan
manusia yang di h[2]akiki,
artinya manusia belum di pandang manusia jika belum sempurna akalnya. Hal ini
penting karenma akal merupakan kemampuan khas manusiawi.
B. Pengertian Wahyu
Sedangkan wahyu adalah dalil-dalil syar’i yang
di dalam Al-Qur’an dan asunnah.akan tetapi akal dan wahyu ada juga bertentangan
dengan rasio mereka, sementara ahli suunah meniadakan pertentangan antara akal
dan wahyu. Oleh kare Oleh karena akal manusia itu terbatas, Allah Yang Maha
Pengatur (ArRabb) memberikan pula sumber informasi berupa wahyu yang diturunkan
kepada para Rasul yang kemudian disebar luaskan kepada manusia.
Nabi
Muhammad RasuluLlah SAW adalah nabi dan rasul yang terakhir. Setelah beliau,
Allah tidak lagi menurunkan wahyu. Dalam shalat kita minta kepada Allah: Ihdina
shShira-tha lMustqiym (1:6), tuntunlah kami ke jalan yang lurus. Maka Allah
menjawab: Alif, Lam, Mim. Dza-lika lKita-bu la- Rayba na itu, imam ibnu Abi al-
izz al- hannafi berkata: syaria’t itu tidak datang membawah sesuatu yang di
anggapm mustahil oleh akal, tetapi ia terkadang datang membawah sesuatu Hudan
lilMuttaqiyn", demikianlah wahyu itu menuntun akal para Muttaqiyn untuk
berolah akal, yaitu berpikir/berfilsafat dan merasa/bertasawuf. Akal harus
ditempatkan di bawah wahyu dan ilmu filsafat serta ilmu tasawuf harus
ditempatkan di bawah iman, singkatnya wahyu di atas akal dan iman di atas ilmu.
Orang dapat menjalankan agama dengan baik,
jikalau memahami ajaran agama itu dengan baik. Supaya dapat yang membinggungkan
akal.[3]
Dengan baik, jikalau memahami ajaran agama itu
dengan baik. Supaya dapat memahami ajaran agama dengan baik, haruslah pula
dapat memahami wahyu dengan baik. Untuk dapat memahami wahyu dengan baik
haruslah pula dapat memahami informasi-informasi yang relevan dengan wahyu,
seperti Hadis Nabi, baik sabda mapun sunnahnya, dan ilmu-ilmu bantu yang
diajarkan di sekolah-sekolah umum, baik itu ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu
non eksakta. Artinya wahyu tidak dapat dipahami dengan baik, jika tidak
mempergunakan akal. Walhasil akal sangat berguna untuk dapat memahami wahyu.
Makhluk ciptaan Allah SWT di alam syahadah ini,
seperti apa yang dapat kita amati, dapat digolongkan dalam jenis-jenis:
batu-batuan/mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. Allah SWT sebagai
ArRabb mengatur alam syahadah dengan hukum-hukumNya untuk mengendalikan
berjenis-jenis ciptaanNya itu. Allah sebagai ArRabb (Maha Pengatur)
mengendalikan alam semesta dengan hukum-hukumNya yang hingga kini baru dikenal
oleh manusia sebagai: medan gravitasi, medan elektromagnet, gaya kuat dan gaya
lemah.
Medan gravitasi utamanya mengontrol
makrokosmos, mengendalikan bintang-bintang. Ketiga jenis yang lain mengontrol
mikrokosmos. Medan elektromagnet mengontrol pasangan proton (bermuatan +)
dengan elektron (bermuatan -). Proton-proton dalam inti atom yang saling tolak
karena bermuatan sama, "direkat" oleh gaya kuat. Sedangkan gaya lemah
menyebabkan inti atom seperti misalnya Thorium dan Uranium tidak stabil menjadi
"lapuk" terbelah dengan mengeluarkan sinar radioaktif, sehingga
Thorium dan Uranium disebut pula zat radioaktif.
Di samping ke-4 jenis itu hukum Allah
mengendalikan pula tumbuh-tumbuhan dengan kekuatan bertumbuh dan berkembang
biak; kekuatan bertumbuh itu dapat melawan kekuatan gravitasi yaitu bertumbuh
ke atas melawan tarikan gravitasi ke bawah. Adapun pada binatang ditambah pula
lagi dengan kekuatan naluri dengan perlengkapan pancaindera. Dengan kekuatan
naluri dan perlengkapan pancaindera itu binatang dapat bergerak ke mana saja
menurut kemauannya atas dorongan nalurinya. [4]
Allah meniupkan ruh ke dalam diri manusia, yang
tidak diberikanNya kepada makhluq bumi yang lain. Karena manusia mempunyai ruh,
ia mempunyai kekuatan ruhaniyah yaitu akal. Dengan akal itu manusia mempunyai
kesadaran akan wujud dirinya. Dengan otak sebagai mekanisme, akal manusia dapat
berpikir dan dengan qalbu (hati nurani) sebagai mekanisme akal manusia dapat
merasa. Allah menciptakan manusia dalam keadaan, "fiy ahsani taqwiym"
(95:4), sebaik-baik kejadian.
Kemampuan akal untuk berpikir dan merasa
bertumbuh sesuai dengan pertumbuhan diri manusia. Agar manusia dapat
mempergunakan akalnya untuk berpikir dan merasa, ia perlu mendapatkan informasi
dan pengalaman hidup. Mutu hasil pemikiran dan renungan akal tergantung pada
jumlah, mutu dan jenis informasi yang didapatkannya dan dialaminya. Ilmu
eksakta, non-eksakta, ilmu filsafat adalah hasil olah akal dengan mekanisme
otak. Kesenian dan ilmu tasawuf adalah hasil olah akal dengan qalbu sebagai
mekanisme.
Hasil pemikiran dan renungan anak tammatan SMA
lebih bermutu ketimbang hasil pemikiran anak tammatan SD, karena anak tammatan
SMA lebih besar jumlah, lebih bermutu dan lebih beragam jenis informasi yang
diperolehnya dan pengalaman yang dialaminya. Jadi kemampuan akal manusia itu
relatif sifatnya, baik dalam hal evolusi pertumbuhan mekanisme otak dan
qalbunya, maupun dalam hal jumlah, mutu dan ragam informasi yang diperolehnya
dan dialaminya. Dengan demikian akan relatif juga, baik untuk memikirkan
pemecahan masalah, maupun untuk merenung baik buruknya sesuatu.[5]
Kebenaran mutlak (Al Haqq) tidak mungkin dapat
dicapai oleh manusia dengan kekuatan akalnya. Kebenaran mutlak tidak mungkin
diperoleh dengan upaya pemikiran mekanisme otak yang berwujud filsafat. Juga
kebenaran mutlak tidak dapat dicapai manusia dengan upaya renungan mekanisme
qalbu dalam wujud tasawuf. Al Haqq tidak dapat dicapai melalui filsafat ataupun
tasawuf. Al Haqqu min rabbikum (s. alKahf, 29), artinya Al Haqq itu dari Rabb
kamu (s. Gua 18:29). Alam ghaib juga tidak mungkin diketahui manusia dengan
kekuatan akalnya. Filsafat dan tasawuf tidak mungkin dapat menyentuh alam
ghaib.
Demikianlah tolok ukur produk pemikiran dan
renungan yang berupa filsafat dan tasawuf itu adalah: "Dza-lika lKita-bu
la- Rayba fiyhi Hudan lilMuttaqiyn". Filsafat dan tasawuf harus dibingkai
oleh Al Quran dan Hadits shahih, sebab kalau tidak demikian, maka filsafat dan
tasawuf itu menjadi liar. Sungguh-sungguh suatu keniscayaan, para penganut dan
pengamal filsafat dan tasawuf tanpa kendali itu menjadi sesat. Terjadilah
fenomena yang naif, lucu, tetapi mengibakan, yaitu antara lain filosof itu
berimajinasi tentang pantheisme, sufi itu ber"kasyaf" terbuka hijab,
merasa bersatu dengan Allah. Adapun indikator penganut dan pengamal filsafat
dan tasawuf tanpa kendali itu, adalah upaya yang sia-sia untuk mempersatukan
segala agama. Inilah yang selalu kita mohonkan kepada Allah SAW setiap shalat,
agar tidak terperosok ke dalam golongan "Dha-lluwn", kaum sesat.
ilmu-ilmu bantu yang diajarkan di
sekolah-sekolah umum, baik itu ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu non eksakta.
Artinya wahyu tidak dapat dipahami dengan baik, jika tidak mempergunakan akal.
Walhasil akal sangat berguna untuk dapat memahami wahyu.
Akallah yang membedakan antara manusia dengan
binatang. Pada binatang tidak ada kekuatan lain dalam dirinya di atas
nalurinya, sedangkan pada manusia ada akal di atas nalurinya. Akal manusia
tidak mampu membunuh naluri, namun akal mampu menundukkan, mengarahkan dan
mengendalikan[6]
Makhluk ciptaan Allah SWT di alam syahadah ini,
seperti apa yang dapat kita amati, dapat digolongkan dalam jenis-jenis:
batu-batuan/mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. Allah SWT sebagai
ArRabb mengatur alam syahadah dengan hukum-hukumNya untuk mengendalikan
berjenis-jenis ciptaanNya itu. Allah sebagai ArRabb (Maha Pengatur)
mengendalikan alam semesta dengan hukum-hukumNya yang hingga kini baru dikenal
oleh manusia sebagai: medan gravitasi, medan elektromagnet, gaya kuat dan gaya
lemah.
Medan gravitasi utamanya mengontrol
makrokosmos, mengendalikan bintang-bintang. Ketiga jenis yang lain mengontrol
mikrokosmos. Medan elektromagnet mengontrol pasangan proton (bermuatan +)
dengan elektron (bermuatan -). Proton-proton dalam inti atom yang saling tolak
karena bermuatan sama, "direkat" oleh gaya kuat. Sedangkan gaya lemah
menyebabkan inti atom seperti misalnya Thorium dan Uranium tidak stabil menjadi
"lapuk" terbelah dengan mengeluarkan sinar radioaktif, sehingga
Thorium dan Uranium disebut pula zat radioaktif.
Di samping ke-4 jenis itu hukum Allah
mengendalikan pula tumbuh-tumbuhan dengan kekuatan bertumbuh dan berkembang
biak; kekuatan bertumbuh itu dapat melawan kekuatan gravitasi yaitu bertumbuh
ke atas melawan tarikan gravitasi ke bawah. Adapun pada binatang ditambah pula
lagi dengan kekuatan naluri dengan perlengkapan pancaindera. Dengan kekuatan
naluri dan perlengkapan pancaindera itu binatang dapat bergerak ke mana saja
menurut kemauannya atas dorongan nalurinya.
Allah meniupkan ruh ke dalam diri manusia, yang
tidak diberikanNya kepada makhluq bumi yang lain. Karena manusia mempunyai ruh,
ia mempunyai kekuatan ruhaniyah yaitu akal. Dengan akal itu manusia mempunyai
kesadaran akan wujud dirinya. Dengan otak sebagai mekanisme, akal manusia dapat
berpikir dan dengan qalbu (hati nurani) sebagai mekanisme akal manusia dapat
merasa. Allah menciptakan manusia dalam keadaan, "fiy ahsani taqwiym"
(95:4), sebaik-baik kejadian.[7]
Kemampuan akal untuk berpikir dan merasa
bertumbuh sesuai dengan pertumbuhan diri manusia. Agar manusia dapat
mempergunakan akalnya untuk berpikir dan merasa, ia perlu mendapatkan informasi
dan pengalaman hidup. Mutu hasil pemikiran dan renungan akal tergantung pada
jumlah, mutu dan jenis informasi yang didapatkannya dan dialaminya. Ilmu
eksakta, non-eksakta, ilmu filsafat adalah hasil olah akal dengan mekanisme
otak. Kesenian dan ilmu tasawuf adalah hasil olah akal dengan qalbu sebagai
mekanisme.
Hasil pemikiran dan renungan anak tammatan SMA
lebih bermutu ketimbang hasil pemikiran anak tammatan SD, karena anak tammatan
SMA lebih besar jumlah, lebih bermutu dan lebih beragam jenis informasi yang
diperolehnya dan pengalaman yang dialaminya. Jadi kemampuan akal manusia itu
relatif sifatnya, baik dalam hal evolusi pertumbuhan mekanisme otak dan
qalbunya, maupun dalam hal jumlah, mutu dan ragam informasi yang diperolehnya
dan dialaminya. Dengan demikian akan relatif juga, baik untuk memikirkan
pemecahan masalah, maupun untuk merenung baik buruknya sesuatu.
Kebenaran mutlak (Al Haqq) tidak mungkin dapat
dicapai oleh manusia dengan kekuatan akalnya. Kebenaran mutlak tidak mungkin
diperoleh dengan upaya pemikiran mekanisme otak yang berwujud filsafat. Juga
kebenaran mutlak tidak dapat dicapai manusia dengan upaya renungan mekanisme
qalbu dalam wujud tasawuf. Al Haqq tidak dapat dicapai melalui filsafat ataupun
tasawuf. Al Haqqu min rabbikum (s. alKahf, 29), artinya Al Haqq itu dari Rabb
kamu (s. Gua 18:29). Alam ghaib juga tidak mungkin diketahui manusia dengan
kekuatan akalnya. Filsafat dan tasawuf tidak mungkin dapat menyentuh alam
ghaib.[8]
Demikianlah tolok ukur produk pemikiran dan
renungan yang berupa filsafat dan tasawuf itu adalah: "Dza-lika lKita-bu
la- Rayba fiyhi Hudan lilMuttaqiyn". Filsafat dan tasawuf harus dibingkai
oleh Al Quran dan Hadits shahih, sebab kalau tidak demikian, maka filsafat dan
tasawuf itu menjadi liar. Sungguh-sungguh suatu keniscayaan, para penganut dan
pengamal filsafat dan tasawuf tanpa kendali itu menjadi sesat. Terjadilah
fenomena yang naif, lucu, tetapi mengibakan, yaitu antara lain filosof itu
berimajinasi tentang pantheisme, sufi itu ber"kasyaf" terbuka hijab,
merasa bersatu dengan Allah. Adapun indikator penganut dan pengamal filsafat
dan tasawuf tanpa kendali itu, adalah upaya yang sia-sia untuk mempersatukan
segala agama. Inilah yang selalu kita mohonkan kepada Allah SAW setiap shalat,
agar tidak terperosok ke dalam golongan "Dha-lluwn", kaum sesat.
Dengan baik, jikalau memahami ajaran agama itu
dengan baik. Supaya dapat memahami ajaran agama dengan baik, haruslah pula
dapat memahami wahyu dengan baik. Untuk dapat memahami wahyu dengan baik
haruslah pula dapat memahami informasi-informasi yang relevan dengan wahyu,
seperti Hadis Nabi, baik sabda mapun sunnahnya, dan ilmu-ilmu bantu yang
diajarkan di sekolah-sekolah umum, baik itu ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu
non eksakta. Artinya wahyu tidak dapat dipahami dengan baik, jika tidak
mempergunakan akal. Walhasil akal sangat berguna untuk dapat memahami wahyu.
Akallah yang membedakan antara manusia dengan
binatang. Pada binatang tidak ada kekuatan lain dalam dirinya di atas
nalurinya, sedangkan pada manusia ada akal di atas nalurinya. Akal manusia
tidak mampu membunuh naluri, namun akal mampu menundukkan, mengarahkan dan
mengendalikan nalurinya itu. Sungguhpun manusia itu diciptakan Allah dengan
sebaik-baik kejadian, karena diberi perlengkapan akal, akan tetapi kalau
akalnya tidak dapat mengendalikan nalurinya, maka akan jatuhlah ia ke tempat
yang serendah-rendahnya, lebih rendah dari binatang. Konfigurasi Jibril,
Rasulullah dan buraq pada waktu Isra, Jibril yang menuntun Rasulullah yang
mengendarai buraq, adalah suatu ibarat yang sangat relevan bagi konfigurasi
antara wahyu, akal dengan naluri, yaitu wahyu menuntun akal dan akal
mengendalikan naluri.[9]
Karena manusia mempunyai naluri mempertahankan
diri, maka manusia di dorong oleh nalurinya itu untuk menonjolkan keakuannya,
menonjolkan identitas dirinya. Manusia adalah makhluk pribadi. Syariat Islam
mengatur tatacara peribadatan yang 'ubudiyyaat (mufrad, singular: 'ubudiyyah)
untuk manusia sebagai makhluk pribadi, yakni hubungan langsung antara manusia
dengan Allah. Peribadatan yang ubudiyyaat ini sangat pribadi sifatnya.
Pelaksanaanya tidak boleh mewakili atau diwakilkan kepada orang lain.
Peribadatan yang ubudiyyaat inilah yang identik dengan pengertian religion,
religie, godsdienst dalam bahasa-bahasa barat. Peribadatan yang 'ubudiyyaat ini
sangat ketat: semua tidak boleh, kecuali yang diperintahkan oleh Nash (Al
Qur'an dan Hadits Shahih), mengenai cara, waktu dan jumlah, bahkan ada yang
mengenai tempat (ibadah Haji). Peribadatan yang 'ubudiyyaat ini dalam istilah
populernya ialah ibadah yang ritual. Shalat Maghrib misalnya sudah ditetapkan
tiga rakaat. Akal tidak boleh berpikir demikian: Empat lebih besar dari tiga.
Jadi empat rakaat pahalanya lebih banyak dari tiga rakaat. Maka lebih baik
shalat Maghrib empat rakaat supaya pahalanya lebih banyak. Dalam Syariat yang
ketat ini, akal dibatasi kebebasannya. Akal hanya dapat digunakan secara
deskriptif, yaitu hanya boleh dipakai untuk menjawab pertanyan: bagaimana,
bilamana, berapa dan di mana, tidak boleh dipakai untuk melayani pertanyaan:
mengapa, misalnya pertanyaan seperti berikut: Mengapa puasa wajib diperintahkan
dalam bulan Ramadhan,,,,?[10]
Walaupun manusia itu makhluk pribadi, namun
manusia itu tidak dapat hidup nafsi-nafsi. Cerita tentang Si Buta dan Si
Lumpuh, Si Buta memikul Si Lumpuh di atas bahunya, menunjukkan ibarat kerjasama
yang baik. Saling mengisi di antara keduanya, memakai kaki Si Buta untuk
berjalan dan mempergunakan mata Si Lumpuh untuk melihat. Manusia itu
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, jadi tidak dapat hidup
sendiri-sendiri, manusia itu saling membutuhkan di antara sesamanya manusia.
Manusia adalah makhluk bermasyarakat.
C. Kedudukan akal dalam Al-Qur’An
Betapa pentingnya kedudukan akal dalam
Al-Qur’an sampai –sampai di jelaskan bahwa Allah SWt, murkah terhadap
orang-oarng yang tidak mau menggunakan akalnya, karena akalnya manusia dapat
mencapai peradaban dan kebudayaan yang sangat tinggi dan dengan akalnya pula manusia dapat mengemban tugas
sebagai khalifa di muka bumi ini.
Dengan hati yang tenang, maka nafsu dapat di
kuasai, sehingga konsep-konsep dapat di abadikan untuk mengagumkan asma Allah,
dengan demikian berfilsfat dalam Al-qur’an bukan berarti hanya mengunakan
fikiran ( rasio) semata-mata, melainkan juga hati selalu inggat kepada Allah
menyetuhnya antara fikir, dzikir . jadi,
hakekat filsafat dalam Al-qur’an adalah perpaduan kegiatan antara fikir, zikir.
Fikir adalah aktifitas rasio sedangkan dzikir adalah aktifitas hati yang
kedua-duanya tidak dapat di pisahkan.
Hubungam antara akal dengan wahyu tidak dapat
di pahami secara structural, artinya hubungan atas bawah melainkan harus di
pahami secara fungsional. Akal sebagai
subyek berfungsi untuk memecahkan masalah, sedangkan wahyu memberikan wawasan
moralitas atas pemecahan atas pemecahan
masaalah yang di ambil oleh akal, juga untuk menginformasikan hal-hal yang
tidak dapat di jangkau oleh akal.
Dengan demikian dapat di katakan bahwa dalam
Al-qur’an di kenal dengan adanya” ilmu
laduni” artinya pengetahuan yang di peroleh seseorang yang soleh dari Allah SWt
. melalui ilham dan tanpa di pelajari lebih dahulu malaui jenjang pendidikan
tertentu. Oleh sebab itu, ilmu tersebut bukan hasil proses pemikiran melainkan
sepenuhnya tergantung atas kehendak dan karunia Allah Swt.[11]
Teologi sebagai ilmu membahas soal ketuhanan
dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap tuhan, memakai akal dan wahyu dalam
memperoleh pengetahuan tentang kedua
soal tersebut akal, sebagai daya berfikir yang ada dalam diri manusia berusaha
keras untuk samapi kepada diri tuhan dan wahyu sebagai penghabaran dari alam
metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang tuhan dan
kewajiban-kewajiban menusia terhadap tuhan . konsepsi dapat digambarkan yang
terdapat dalam gambar satu yaitu tuhan berdiri dipuncak alam wujud dan manusia
dikakinya berusaha dengan akalnya untuk sampai kepada tuhan dan tuhan sendiri
dengan belas kasihannya terhadap kelemahan manusia diperbandingkan dengan
kemahakuasaan tuhan, menolong manusia dengan menurunkan wahyu melalui Nabi-Nabi
dan rasul.
Konsepsi ini merupakan system teologi yang
dapat terhadap aliran-aliran teologi islam yang berpendapat bahwa akal manusia
bisa sampai kepada tuhan. Yang menjadi persoalan selanjutnya ialah: sampai
dimanakah kemampuan akal manusia dapat mengetahui tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia? Dan juga sampai manakah besarnya
fungsi wahyu dalam kedua hal ini ?
Kalau kita selidiki buku-buku klasik ilmu kalam
akan kita jumpai bahwa persoalan kekuasan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan
dengan dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua. Masalah pertama
tentang mengetahui tuhan dan masalah kedua soal baik dan jahat. Masalah pertama
bercabang dua menjadi mengetahui tuhan dan kewajiban mengetahui tuhan.[12]
Bagi kaum mutazilah segalah pengetahuan dapat
diperoleh dengan perantaraan akal. Dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui
dengan pemikiran yang mendalam. Maka berterimah kasihlah kepada tuhan karena
sebelum turunya wahyu adalah wajib.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akal berasal dari Al-Qur’an, yaitu aqlun
(akal). akal adalah satu-satunya pemberian Allah yang paling tinggi nilainya
setelah iman (hidayah). Dengan akal manusia dapat berbudaya, dapat menguasai
alam semesta. Ia dapat menag sendiri di bangingkan makhluk lain di alam ini,
walaupun terhadap mkahluk yang besar secara biologis.
wahyu adalah dalil-dalil syar’i yang di dalam
Al-Qur’an dan asunnah.akan tetapi akal dan wahyu ada juga bertentangan dengan
rasio mereka, sementara ahli suunah meniadakan pertentangan antara akal dan
wahyu. Oleh kare Oleh karena akal manusia itu terbatas, Allah Yang Maha
Pengatur (ArRabb) memberikan pula sumber informasi berupa wahyu yang diturunkan
kepada para Rasul yang kemudian disebar luaskan kepada manusia.
Akallah yang membedakan antara manusia dengan
binatang. Pada binatang tidak ada kekuatan lain dalam dirinya di atas
nalurinya, sedangkan pada manusia ada akal di atas nalurinya. Akal manusia
tidak mampu membunuh naluri, namun akal mampu menundukkan, mengarahkan dan
mengendalikan.
B. Saran
Saran kami sebagai pemakalah, agar kita sebagai
mahasiswa hendaklah lebih giat dalam menjalan
aktifitas sebagai seorang mahasiswa. dan apabila ada salah kata dalam
penulisan makalah kami itu semata-mata karena dalam tahap proses pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Muqzin
Min- Dalal, Libanon: Aditiya Media, 1994.
Nasutioan Harun, Teologi Islam, Jakarta: Universitas Indonesia. 1986.
Suparlan, YB. Aliran-Aliran Baru Dalam Pendidikan, Yogyakarta:
Andi offset, 1984.
Syafi’I, Imam. Konsep Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Uii Pers, 2000.
Toha, Ahmadi. Pengantar Pada Terjemahan, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
Zainudin, H. Ilmu Tauhid Lengkap, Jakarta:PT Pineka Cipta, 1996
[2]
Imam syafi’ie, konsep ilmu pengetahuan,
cetakan- 2, (Yogyakarta: vii pers, 2000), h. 73-83.
[4] Ibid; h.
50.
[5]
M, Quraish shihab, Fungsi dan wahyu dalam
masyarakat, cetakan ke- 3, ( Bandung: mizan, 1992), h. 67.
[6]
Ibid; h. 69.
[7]
Ahmadi Thoha, pengantar pada terjemahan, cetakan
ke- 1, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), h. 56.
[8]
Al- Ghazali, Muqzin min- Dalal, cetakan
ke-1,( Libanon:Aditiya media, 1994), h. 39.
[9]
YB. Suparlan, Aliran-aliran baru dalam
pendidikan, cetakan ke- 3, (Yogyakarta:Andi Ofset, 1984), h. 84.
[10]
Ibid; h. 86.
[11] Op.cit, Imam Syafi’I, h. 75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar