Rabu, 25 September 2013

AKAL DAN WAHYU (MATA KULIAH ILMU KALAM)



Akal Dan Wahyu
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam
Disusun oleh: Rudini Harto
NIM : 11.2.3.012
Dosen pembimbing:
Dra. Hj. Nurlaila Baluwo

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) MANADO
2011




BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar belakang
Salah satu intan yang paling mahal, mutiara yang sangat berharga di dalam diri manusia yaitu akli wal fikri yakni akal dan fikiran. Dia merupakan pemberian Allah swt yang sangat tinggi nilainya dan bahkan dialah yang bisa membedakan antara manusia dengan makhluk makhluk lainnya, dan bahkan pada waktu tertentu manusia dengan akal dan fikirannya mana kala di arahkan ke arah yang positif maka dia akan mengalahkan kemuliaan derajat para malaikat. Namun sebaliknya jika akal dan fikiran mc diarahkan kearah yang negartif maka derajat kemuliaannya akan jatuh lebih rendah dari pada binatang ternak. Bal hum adhollu.
Sedangkan wahyu adalah dalil-dalil syar’i yang di dalam Al-Qur’an dan asunnah.akan tetapi akal dan wahyu ada juga bertentangan dengan rasio mereka, sementara ahli suunah meniadakan pertentangan antara akal dan wahyu. Oleh karena itu, imam ibnu Abi al- izz al- hannafi berkata: syaria’t itu tidak datang membawah sesuatu yang ndi anggapm mustahil oleh akal, tetapi ia terkadang datang membawah sesuatu yang membinggungkan akal.
Imam as-sam’ani berkata: ahlus sunnah mengatakan, bahwa inti agama adalah mengukuti (taat), sedang yang ma’gul (rasional) itupun ikut kepadanya. Seandainya dasar agama adalah yang ma’gul maka uamat manusia tidak akan membutuhkan wahyu dan nabi, serta perintah dan larangan (agama pun tidak ada gunannya ), sementara setiap ornag akan berbicara sesuai dengan keinginannya.



B.   Rumusan masalah
·       Apa pengertian akal ?
·       Apa pengertian wahyu?
·       Bagaimanakah kedudukannya dalam Al-   Qur’an ?

C.  Tujuan
Adapun orientasinya dibuat  makalah ini agar kita sebagai mahasiswa kemudian dapat mengerti apa yang dimaksud dengan akal dan wahyu.











BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian akal
Akal adalah rasio atau muntiq. Munurut logika sehat, di mana alam semesta kerumitan hukum-hukumnya adalah berupah dalil. akal.menurut akal kebenaran sesuatu dapat diamati , diteliti ( di analisis) dan di capai oleh akal, pada dasarnya dalil-dalil aqli ini adalah sebuah penghargaan Allah bagi hambanya agar senantiasa dapat dipergunakan secara baik dan cermat
Akal berasal dari Al-Qur’an, yaitu aqlun (akal). akal adalah satu-satunya pemberian Allah yang paling tinggi nilainya setelah iman (hidayah). Dengan akal manusia dapat berbudaya, dapat menguasai alam semesta. Ia dapat menag sendiri di bangingkan makhluk lain di alam ini, walaupun terhadap mkahluk yang besar secara biologis.
Akal untuk membuktikan atau sebagai dail, hal-hal yang bersifat materi, sedangkan untuk mencapai non materi datangnya dari tuhan yang wujudnya adalah wahyu. Kebenaran yang di kandungnya pasti dan semakin mutlak. Berlaku sepanjang masa dan makin tinggi taraf ilmu manusia, semakin mendekat dengan kebenarannya.
Dalil naqli untuk islam adalah kitab Al-Qur’an dan AL-Hadits rasullulah Saw. Mau tidak mau harus di terimah dengan yakin apa yang telah di nashakan di dalammnya, maka dalil itupun merupakamn dalil yang paten dan pasti yang tidak perlu di perdepatkan lagi.[1]
Hal-hal yang cupup di imani kepada yang ghaib misalnya: iman kepada Alllah, kepada malaikat,  iman kepada adanya hari kiamat, adanya surge dan neraka, iman kepada Qdha dan qhadar, dan masih banyak
 Ada juga hal-hal yang bersifat ghaib.
Al- Qur’an mengambarkan kegiatan oaring-oarang mengunakan akal sebagai orang yang berfikir keras mengenai cipta tuhan (alam semesta) dan sekaligus juga berzikir mengenai kekuasaan tuhan. Mungkin filsafah al- hikma , inilah yang merupakan ilmu yang  pertama kali yang di ajarkan oleh Allahkepada nabi adal as, karena adam di ajari mengenai nama-nama benda. Nama-nama benda adalah konsep-konsep, itu adalah produk dari kegitan kefilsafatan.
Akal sering kali di kacaukan dengan otak atau rasio. Meskipun kegiatan merusak adanya kegiatan merujuk adanya kesamaan, tetapi juga mengandung perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar, pengertian otak misanya merusak pada materi  ( jaringan syaraf yang sangat lembut) yang terdapat dalam tempurung kepala. Otak di samping terdapat pada manusia juga terdapat pada binatang. Dapat saja seseorang berotak , terdapat tidak berakal, misalnya, otak gila, bahkan Al-Qur’an secara negative menilai orang-orang ynag tidak dapat mengambil pelajaranndan berbuat keji, sebagai orang yang tidak berakal.
Istilah akal atau dalam teks bahasa arab di sebut aqal,  di gunakan dalam Al-Qur’an  di berbagai ayat dalam bentuk kata kerja (fi’il) dan tidak pernah di sebuat dalam bentuk mashdar (aqal). Setidak- tidaknya di sebut dalam 5 bentuk kata yakni: Aqluhu, taqluna, naqilu, qiluha, ya qiluna, yang tersebar dan tidak berkurang pada ayat, di dalam Al-Qur’an di samping akal ada juga di kenal  istilah ulu al-bab, yang di artikan orang yang berakal. Dalam kenyataan akal adalah bukanlah wujud yang berdiri ssendiri, tetapi interen dalan jati diri manusia. Akal merupakan rahmat dari Allah yang khusus untuk manusia; dank arena akal inilah manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Akal juga merupakan persyaratan-parsyaratan manusia yang di h[2]akiki, artinya manusia belum di pandang manusia jika belum sempurna akalnya. Hal ini penting karenma akal merupakan kemampuan khas manusiawi.
B.  Pengertian Wahyu
Sedangkan wahyu adalah dalil-dalil syar’i yang di dalam Al-Qur’an dan asunnah.akan tetapi akal dan wahyu ada juga bertentangan dengan rasio mereka, sementara ahli suunah meniadakan pertentangan antara akal dan wahyu. Oleh kare Oleh karena akal manusia itu terbatas, Allah Yang Maha Pengatur (ArRabb) memberikan pula sumber informasi berupa wahyu yang diturunkan kepada para Rasul yang kemudian disebar luaskan kepada manusia.
 Nabi Muhammad RasuluLlah SAW adalah nabi dan rasul yang terakhir. Setelah beliau, Allah tidak lagi menurunkan wahyu. Dalam shalat kita minta kepada Allah: Ihdina shShira-tha lMustqiym (1:6), tuntunlah kami ke jalan yang lurus. Maka Allah menjawab: Alif, Lam, Mim. Dza-lika lKita-bu la- Rayba na itu, imam ibnu Abi al- izz al- hannafi berkata: syaria’t itu tidak datang membawah sesuatu yang di anggapm mustahil oleh akal, tetapi ia terkadang datang membawah sesuatu Hudan lilMuttaqiyn", demikianlah wahyu itu menuntun akal para Muttaqiyn untuk berolah akal, yaitu berpikir/berfilsafat dan merasa/bertasawuf. Akal harus ditempatkan di bawah wahyu dan ilmu filsafat serta ilmu tasawuf harus ditempatkan di bawah iman, singkatnya wahyu di atas akal dan iman di atas ilmu.
Orang dapat menjalankan agama dengan baik, jikalau memahami ajaran agama itu dengan baik. Supaya dapat yang membinggungkan akal.[3]
Dengan baik, jikalau memahami ajaran agama itu dengan baik. Supaya dapat memahami ajaran agama dengan baik, haruslah pula dapat memahami wahyu dengan baik. Untuk dapat memahami wahyu dengan baik haruslah pula dapat memahami informasi-informasi yang relevan dengan wahyu, seperti Hadis Nabi, baik sabda mapun sunnahnya, dan ilmu-ilmu bantu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum, baik itu ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu non eksakta. Artinya wahyu tidak dapat dipahami dengan baik, jika tidak mempergunakan akal. Walhasil akal sangat berguna untuk dapat memahami wahyu.
Makhluk ciptaan Allah SWT di alam syahadah ini, seperti apa yang dapat kita amati, dapat digolongkan dalam jenis-jenis: batu-batuan/mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. Allah SWT sebagai ArRabb mengatur alam syahadah dengan hukum-hukumNya untuk mengendalikan berjenis-jenis ciptaanNya itu. Allah sebagai ArRabb (Maha Pengatur) mengendalikan alam semesta dengan hukum-hukumNya yang hingga kini baru dikenal oleh manusia sebagai: medan gravitasi, medan elektromagnet, gaya kuat dan gaya lemah.
Medan gravitasi utamanya mengontrol makrokosmos, mengendalikan bintang-bintang. Ketiga jenis yang lain mengontrol mikrokosmos. Medan elektromagnet mengontrol pasangan proton (bermuatan +) dengan elektron (bermuatan -). Proton-proton dalam inti atom yang saling tolak karena bermuatan sama, "direkat" oleh gaya kuat. Sedangkan gaya lemah menyebabkan inti atom seperti misalnya Thorium dan Uranium tidak stabil menjadi "lapuk" terbelah dengan mengeluarkan sinar radioaktif, sehingga Thorium dan Uranium disebut pula zat radioaktif.
Di samping ke-4 jenis itu hukum Allah mengendalikan pula tumbuh-tumbuhan dengan kekuatan bertumbuh dan berkembang biak; kekuatan bertumbuh itu dapat melawan kekuatan gravitasi yaitu bertumbuh ke atas melawan tarikan gravitasi ke bawah. Adapun pada binatang ditambah pula lagi dengan kekuatan naluri dengan perlengkapan pancaindera. Dengan kekuatan naluri dan perlengkapan pancaindera itu binatang dapat bergerak ke mana saja menurut kemauannya atas dorongan nalurinya. [4]
Allah meniupkan ruh ke dalam diri manusia, yang tidak diberikanNya kepada makhluq bumi yang lain. Karena manusia mempunyai ruh, ia mempunyai kekuatan ruhaniyah yaitu akal. Dengan akal itu manusia mempunyai kesadaran akan wujud dirinya. Dengan otak sebagai mekanisme, akal manusia dapat berpikir dan dengan qalbu (hati nurani) sebagai mekanisme akal manusia dapat merasa. Allah menciptakan manusia dalam keadaan, "fiy ahsani taqwiym" (95:4), sebaik-baik kejadian.
Kemampuan akal untuk berpikir dan merasa bertumbuh sesuai dengan pertumbuhan diri manusia. Agar manusia dapat mempergunakan akalnya untuk berpikir dan merasa, ia perlu mendapatkan informasi dan pengalaman hidup. Mutu hasil pemikiran dan renungan akal tergantung pada jumlah, mutu dan jenis informasi yang didapatkannya dan dialaminya. Ilmu eksakta, non-eksakta, ilmu filsafat adalah hasil olah akal dengan mekanisme otak. Kesenian dan ilmu tasawuf adalah hasil olah akal dengan qalbu sebagai mekanisme.
Hasil pemikiran dan renungan anak tammatan SMA lebih bermutu ketimbang hasil pemikiran anak tammatan SD, karena anak tammatan SMA lebih besar jumlah, lebih bermutu dan lebih beragam jenis informasi yang diperolehnya dan pengalaman yang dialaminya. Jadi kemampuan akal manusia itu relatif sifatnya, baik dalam hal evolusi pertumbuhan mekanisme otak dan qalbunya, maupun dalam hal jumlah, mutu dan ragam informasi yang diperolehnya dan dialaminya. Dengan demikian akan relatif juga, baik untuk memikirkan pemecahan masalah, maupun untuk merenung baik buruknya sesuatu.[5]
Kebenaran mutlak (Al Haqq) tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia dengan kekuatan akalnya. Kebenaran mutlak tidak mungkin diperoleh dengan upaya pemikiran mekanisme otak yang berwujud filsafat. Juga kebenaran mutlak tidak dapat dicapai manusia dengan upaya renungan mekanisme qalbu dalam wujud tasawuf. Al Haqq tidak dapat dicapai melalui filsafat ataupun tasawuf. Al Haqqu min rabbikum (s. alKahf, 29), artinya Al Haqq itu dari Rabb kamu (s. Gua 18:29). Alam ghaib juga tidak mungkin diketahui manusia dengan kekuatan akalnya. Filsafat dan tasawuf tidak mungkin dapat menyentuh alam ghaib.
Demikianlah tolok ukur produk pemikiran dan renungan yang berupa filsafat dan tasawuf itu adalah: "Dza-lika lKita-bu la- Rayba fiyhi Hudan lilMuttaqiyn". Filsafat dan tasawuf harus dibingkai oleh Al Quran dan Hadits shahih, sebab kalau tidak demikian, maka filsafat dan tasawuf itu menjadi liar. Sungguh-sungguh suatu keniscayaan, para penganut dan pengamal filsafat dan tasawuf tanpa kendali itu menjadi sesat. Terjadilah fenomena yang naif, lucu, tetapi mengibakan, yaitu antara lain filosof itu berimajinasi tentang pantheisme, sufi itu ber"kasyaf" terbuka hijab, merasa bersatu dengan Allah. Adapun indikator penganut dan pengamal filsafat dan tasawuf tanpa kendali itu, adalah upaya yang sia-sia untuk mempersatukan segala agama. Inilah yang selalu kita mohonkan kepada Allah SAW setiap shalat, agar tidak terperosok ke dalam golongan "Dha-lluwn", kaum sesat.
ilmu-ilmu bantu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum, baik itu ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu non eksakta. Artinya wahyu tidak dapat dipahami dengan baik, jika tidak mempergunakan akal. Walhasil akal sangat berguna untuk dapat memahami wahyu.
Akallah yang membedakan antara manusia dengan binatang. Pada binatang tidak ada kekuatan lain dalam dirinya di atas nalurinya, sedangkan pada manusia ada akal di atas nalurinya. Akal manusia tidak mampu membunuh naluri, namun akal mampu menundukkan, mengarahkan dan mengendalikan[6]
Makhluk ciptaan Allah SWT di alam syahadah ini, seperti apa yang dapat kita amati, dapat digolongkan dalam jenis-jenis: batu-batuan/mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. Allah SWT sebagai ArRabb mengatur alam syahadah dengan hukum-hukumNya untuk mengendalikan berjenis-jenis ciptaanNya itu. Allah sebagai ArRabb (Maha Pengatur) mengendalikan alam semesta dengan hukum-hukumNya yang hingga kini baru dikenal oleh manusia sebagai: medan gravitasi, medan elektromagnet, gaya kuat dan gaya lemah.
Medan gravitasi utamanya mengontrol makrokosmos, mengendalikan bintang-bintang. Ketiga jenis yang lain mengontrol mikrokosmos. Medan elektromagnet mengontrol pasangan proton (bermuatan +) dengan elektron (bermuatan -). Proton-proton dalam inti atom yang saling tolak karena bermuatan sama, "direkat" oleh gaya kuat. Sedangkan gaya lemah menyebabkan inti atom seperti misalnya Thorium dan Uranium tidak stabil menjadi "lapuk" terbelah dengan mengeluarkan sinar radioaktif, sehingga Thorium dan Uranium disebut pula zat radioaktif.
Di samping ke-4 jenis itu hukum Allah mengendalikan pula tumbuh-tumbuhan dengan kekuatan bertumbuh dan berkembang biak; kekuatan bertumbuh itu dapat melawan kekuatan gravitasi yaitu bertumbuh ke atas melawan tarikan gravitasi ke bawah. Adapun pada binatang ditambah pula lagi dengan kekuatan naluri dengan perlengkapan pancaindera. Dengan kekuatan naluri dan perlengkapan pancaindera itu binatang dapat bergerak ke mana saja menurut kemauannya atas dorongan nalurinya.
Allah meniupkan ruh ke dalam diri manusia, yang tidak diberikanNya kepada makhluq bumi yang lain. Karena manusia mempunyai ruh, ia mempunyai kekuatan ruhaniyah yaitu akal. Dengan akal itu manusia mempunyai kesadaran akan wujud dirinya. Dengan otak sebagai mekanisme, akal manusia dapat berpikir dan dengan qalbu (hati nurani) sebagai mekanisme akal manusia dapat merasa. Allah menciptakan manusia dalam keadaan, "fiy ahsani taqwiym" (95:4), sebaik-baik kejadian.[7]
Kemampuan akal untuk berpikir dan merasa bertumbuh sesuai dengan pertumbuhan diri manusia. Agar manusia dapat mempergunakan akalnya untuk berpikir dan merasa, ia perlu mendapatkan informasi dan pengalaman hidup. Mutu hasil pemikiran dan renungan akal tergantung pada jumlah, mutu dan jenis informasi yang didapatkannya dan dialaminya. Ilmu eksakta, non-eksakta, ilmu filsafat adalah hasil olah akal dengan mekanisme otak. Kesenian dan ilmu tasawuf adalah hasil olah akal dengan qalbu sebagai mekanisme.
Hasil pemikiran dan renungan anak tammatan SMA lebih bermutu ketimbang hasil pemikiran anak tammatan SD, karena anak tammatan SMA lebih besar jumlah, lebih bermutu dan lebih beragam jenis informasi yang diperolehnya dan pengalaman yang dialaminya. Jadi kemampuan akal manusia itu relatif sifatnya, baik dalam hal evolusi pertumbuhan mekanisme otak dan qalbunya, maupun dalam hal jumlah, mutu dan ragam informasi yang diperolehnya dan dialaminya. Dengan demikian akan relatif juga, baik untuk memikirkan pemecahan masalah, maupun untuk merenung baik buruknya sesuatu.
Kebenaran mutlak (Al Haqq) tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia dengan kekuatan akalnya. Kebenaran mutlak tidak mungkin diperoleh dengan upaya pemikiran mekanisme otak yang berwujud filsafat. Juga kebenaran mutlak tidak dapat dicapai manusia dengan upaya renungan mekanisme qalbu dalam wujud tasawuf. Al Haqq tidak dapat dicapai melalui filsafat ataupun tasawuf. Al Haqqu min rabbikum (s. alKahf, 29), artinya Al Haqq itu dari Rabb kamu (s. Gua 18:29). Alam ghaib juga tidak mungkin diketahui manusia dengan kekuatan akalnya. Filsafat dan tasawuf tidak mungkin dapat menyentuh alam ghaib.[8]
Demikianlah tolok ukur produk pemikiran dan renungan yang berupa filsafat dan tasawuf itu adalah: "Dza-lika lKita-bu la- Rayba fiyhi Hudan lilMuttaqiyn". Filsafat dan tasawuf harus dibingkai oleh Al Quran dan Hadits shahih, sebab kalau tidak demikian, maka filsafat dan tasawuf itu menjadi liar. Sungguh-sungguh suatu keniscayaan, para penganut dan pengamal filsafat dan tasawuf tanpa kendali itu menjadi sesat. Terjadilah fenomena yang naif, lucu, tetapi mengibakan, yaitu antara lain filosof itu berimajinasi tentang pantheisme, sufi itu ber"kasyaf" terbuka hijab, merasa bersatu dengan Allah. Adapun indikator penganut dan pengamal filsafat dan tasawuf tanpa kendali itu, adalah upaya yang sia-sia untuk mempersatukan segala agama. Inilah yang selalu kita mohonkan kepada Allah SAW setiap shalat, agar tidak terperosok ke dalam golongan "Dha-lluwn", kaum sesat.
Dengan baik, jikalau memahami ajaran agama itu dengan baik. Supaya dapat memahami ajaran agama dengan baik, haruslah pula dapat memahami wahyu dengan baik. Untuk dapat memahami wahyu dengan baik haruslah pula dapat memahami informasi-informasi yang relevan dengan wahyu, seperti Hadis Nabi, baik sabda mapun sunnahnya, dan ilmu-ilmu bantu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum, baik itu ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu non eksakta. Artinya wahyu tidak dapat dipahami dengan baik, jika tidak mempergunakan akal. Walhasil akal sangat berguna untuk dapat memahami wahyu.
Akallah yang membedakan antara manusia dengan binatang. Pada binatang tidak ada kekuatan lain dalam dirinya di atas nalurinya, sedangkan pada manusia ada akal di atas nalurinya. Akal manusia tidak mampu membunuh naluri, namun akal mampu menundukkan, mengarahkan dan mengendalikan nalurinya itu. Sungguhpun manusia itu diciptakan Allah dengan sebaik-baik kejadian, karena diberi perlengkapan akal, akan tetapi kalau akalnya tidak dapat mengendalikan nalurinya, maka akan jatuhlah ia ke tempat yang serendah-rendahnya, lebih rendah dari binatang. Konfigurasi Jibril, Rasulullah dan buraq pada waktu Isra, Jibril yang menuntun Rasulullah yang mengendarai buraq, adalah suatu ibarat yang sangat relevan bagi konfigurasi antara wahyu, akal dengan naluri, yaitu wahyu menuntun akal dan akal mengendalikan naluri.[9]
Karena manusia mempunyai naluri mempertahankan diri, maka manusia di dorong oleh nalurinya itu untuk menonjolkan keakuannya, menonjolkan identitas dirinya. Manusia adalah makhluk pribadi. Syariat Islam mengatur tatacara peribadatan yang 'ubudiyyaat (mufrad, singular: 'ubudiyyah) untuk manusia sebagai makhluk pribadi, yakni hubungan langsung antara manusia dengan Allah. Peribadatan yang ubudiyyaat ini sangat pribadi sifatnya. Pelaksanaanya tidak boleh mewakili atau diwakilkan kepada orang lain. Peribadatan yang ubudiyyaat inilah yang identik dengan pengertian religion, religie, godsdienst dalam bahasa-bahasa barat. Peribadatan yang 'ubudiyyaat ini sangat ketat: semua tidak boleh, kecuali yang diperintahkan oleh Nash (Al Qur'an dan Hadits Shahih), mengenai cara, waktu dan jumlah, bahkan ada yang mengenai tempat (ibadah Haji). Peribadatan yang 'ubudiyyaat ini dalam istilah populernya ialah ibadah yang ritual. Shalat Maghrib misalnya sudah ditetapkan tiga rakaat. Akal tidak boleh berpikir demikian: Empat lebih besar dari tiga. Jadi empat rakaat pahalanya lebih banyak dari tiga rakaat. Maka lebih baik shalat Maghrib empat rakaat supaya pahalanya lebih banyak. Dalam Syariat yang ketat ini, akal dibatasi kebebasannya. Akal hanya dapat digunakan secara deskriptif, yaitu hanya boleh dipakai untuk menjawab pertanyan: bagaimana, bilamana, berapa dan di mana, tidak boleh dipakai untuk melayani pertanyaan: mengapa, misalnya pertanyaan seperti berikut: Mengapa puasa wajib diperintahkan dalam bulan Ramadhan,,,,?[10]
Walaupun manusia itu makhluk pribadi, namun manusia itu tidak dapat hidup nafsi-nafsi. Cerita tentang Si Buta dan Si Lumpuh, Si Buta memikul Si Lumpuh di atas bahunya, menunjukkan ibarat kerjasama yang baik. Saling mengisi di antara keduanya, memakai kaki Si Buta untuk berjalan dan mempergunakan mata Si Lumpuh untuk melihat. Manusia itu masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, jadi tidak dapat hidup sendiri-sendiri, manusia itu saling membutuhkan di antara sesamanya manusia. Manusia adalah makhluk bermasyarakat.
C.  Kedudukan akal dalam Al-Qur’An
Betapa pentingnya kedudukan akal dalam Al-Qur’an sampai –sampai di jelaskan bahwa Allah SWt, murkah terhadap orang-oarng yang tidak mau menggunakan akalnya, karena akalnya manusia dapat mencapai peradaban dan kebudayaan yang sangat tinggi dan dengan  akalnya pula manusia dapat mengemban tugas sebagai khalifa di muka bumi ini.
Dengan hati yang tenang, maka nafsu dapat di kuasai, sehingga konsep-konsep dapat di abadikan untuk mengagumkan asma Allah, dengan demikian berfilsfat dalam Al-qur’an bukan berarti hanya mengunakan fikiran ( rasio) semata-mata, melainkan juga hati selalu inggat kepada Allah menyetuhnya antara  fikir, dzikir . jadi, hakekat filsafat dalam Al-qur’an adalah perpaduan kegiatan antara fikir, zikir. Fikir adalah aktifitas rasio sedangkan dzikir adalah aktifitas hati yang kedua-duanya tidak dapat di pisahkan.
Hubungam antara akal dengan wahyu tidak dapat di pahami secara structural, artinya hubungan atas bawah melainkan harus di pahami secara  fungsional. Akal sebagai subyek berfungsi untuk memecahkan masalah, sedangkan wahyu memberikan wawasan moralitas atas pemecahan  atas pemecahan masaalah yang di ambil oleh akal, juga untuk menginformasikan hal-hal yang tidak dapat di jangkau oleh akal.
Dengan demikian dapat di katakan bahwa dalam Al-qur’an  di kenal dengan adanya” ilmu laduni” artinya pengetahuan yang di peroleh seseorang yang soleh dari Allah SWt . melalui ilham dan tanpa di pelajari lebih dahulu malaui jenjang pendidikan tertentu. Oleh sebab itu, ilmu tersebut bukan hasil proses pemikiran melainkan sepenuhnya tergantung atas kehendak dan karunia Allah Swt.[11]
Teologi sebagai ilmu membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh  pengetahuan tentang kedua soal tersebut akal, sebagai daya berfikir yang ada dalam diri manusia berusaha keras untuk samapi kepada diri tuhan dan wahyu sebagai penghabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang tuhan dan kewajiban-kewajiban menusia terhadap tuhan . konsepsi dapat digambarkan yang terdapat dalam gambar satu yaitu tuhan berdiri dipuncak alam wujud dan manusia dikakinya berusaha dengan akalnya untuk sampai kepada tuhan dan tuhan sendiri dengan belas kasihannya terhadap kelemahan manusia diperbandingkan dengan kemahakuasaan tuhan, menolong manusia dengan menurunkan wahyu melalui Nabi-Nabi dan rasul.
Konsepsi ini merupakan system teologi yang dapat terhadap aliran-aliran teologi islam yang berpendapat bahwa akal manusia bisa sampai kepada tuhan. Yang menjadi persoalan selanjutnya ialah: sampai dimanakah kemampuan akal manusia dapat mengetahui tuhan dan kewajiban-kewajiban  manusia? Dan juga sampai manakah besarnya fungsi wahyu dalam kedua hal ini ?
Kalau kita selidiki buku-buku klasik ilmu kalam akan kita jumpai bahwa persoalan kekuasan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua. Masalah pertama tentang mengetahui tuhan dan masalah kedua soal baik dan jahat. Masalah pertama bercabang dua menjadi mengetahui tuhan dan kewajiban mengetahui tuhan.[12]
Bagi kaum mutazilah segalah pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal. Dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Maka berterimah kasihlah kepada tuhan karena sebelum turunya wahyu adalah wajib.







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Akal berasal dari Al-Qur’an, yaitu aqlun (akal). akal adalah satu-satunya pemberian Allah yang paling tinggi nilainya setelah iman (hidayah). Dengan akal manusia dapat berbudaya, dapat menguasai alam semesta. Ia dapat menag sendiri di bangingkan makhluk lain di alam ini, walaupun terhadap mkahluk yang besar secara biologis.
wahyu adalah dalil-dalil syar’i yang di dalam Al-Qur’an dan asunnah.akan tetapi akal dan wahyu ada juga bertentangan dengan rasio mereka, sementara ahli suunah meniadakan pertentangan antara akal dan wahyu. Oleh kare Oleh karena akal manusia itu terbatas, Allah Yang Maha Pengatur (ArRabb) memberikan pula sumber informasi berupa wahyu yang diturunkan kepada para Rasul yang kemudian disebar luaskan kepada manusia.
Akallah yang membedakan antara manusia dengan binatang. Pada binatang tidak ada kekuatan lain dalam dirinya di atas nalurinya, sedangkan pada manusia ada akal di atas nalurinya. Akal manusia tidak mampu membunuh naluri, namun akal mampu menundukkan, mengarahkan dan mengendalikan.
B.       Saran
Saran kami sebagai pemakalah, agar kita sebagai mahasiswa hendaklah lebih giat dalam menjalan  aktifitas sebagai seorang mahasiswa. dan apabila ada salah kata dalam penulisan makalah kami itu semata-mata  karena dalam tahap proses pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Muqzin Min- Dalal, Libanon: Aditiya Media, 1994.

Nasutioan Harun, Teologi Islam, Jakarta: Universitas Indonesia. 1986.

Suparlan, YB. Aliran-Aliran Baru Dalam Pendidikan, Yogyakarta:
Andi offset, 1984.
Syafi’I, Imam. Konsep Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Uii Pers, 2000.

Toha, Ahmadi. Pengantar Pada Terjemahan, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.

Zainudin, H. Ilmu Tauhid Lengkap, Jakarta:PT Pineka Cipta, 1996





[1] H. Zainudin, Ilmu Tauhid lengkap, cetakan ke- 3, (jakarta : pt pineka cipta, 1996) h. 6-8 .                 
[2] Imam syafi’ie, konsep ilmu pengetahuan, cetakan- 2, (Yogyakarta: vii pers, 2000), h. 73-83.
[3]  Imam syafi’I,  manhaj aqidah,cetakan ke-1, ( bogor : opustaka imam syafi’I, 16001), h. 48.
[4]  Ibid; h. 50.
[5] M, Quraish shihab, Fungsi dan wahyu dalam masyarakat, cetakan ke- 3, ( Bandung: mizan, 1992), h. 67.
[6] Ibid; h. 69.
[7] Ahmadi Thoha, pengantar pada terjemahan, cetakan ke- 1, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), h. 56.
[8] Al- Ghazali, Muqzin min- Dalal, cetakan ke-1,( Libanon:Aditiya media, 1994), h. 39.
[9] YB. Suparlan, Aliran-aliran baru dalam pendidikan, cetakan ke- 3, (Yogyakarta:Andi Ofset, 1984), h. 84.
[10] Ibid; h. 86.
[11] Op.cit, Imam Syafi’I, h. 75.  
[12]  Harun Nsution,  Teologi Islam, Cetakan ke-5, (Jakarta:Universitas Indonesia, 1986), h 81.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar